Tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) Karni Ilyas di Youtube bertema: Giliran Partai Golkar di Bawah Kepemimpinan Airlangga Hartarto “Diobok-Obok”, Jumat, (28/7/23), menampilkan sebuah diskusi menarik.
Seperti juga Anda yang telah menonton tayangan itu pernyataan pengamat militer dan pakar komunikasi politik Selamat Ginting telah menyita perhatian. Pun pendapat pakar dari BRIN Prof Siti Zuhro.
Ini bukan kali pertama. Sebelum Golkar “diobok-obok”, jauh sebelumnya dengan menggunakan tangan penguasa yang tidak lain Ketua KSP Jenderal Moeldoko kita juga pernah menyaksikan hal yang sama terjadi pada kasus “pembegalan” Partai Demokrat.
Apa yang menimpa Partai Golkar saat ini yang juga dialami Partai Demokrat membuktikan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi itu karena proses demokratisasi di kalangan elite dan institusi partai politik kita belum matang.
Tanggapan itu saya kutip dari pendapat Prof Dr Tonny Pariela, tadi malam, menanggapi fenomena “pembegalan” partai-partai politik saat ini.
Mahaguru dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon itu berpendapat sejak Reformasi 1998 proses demokrasi kita sesungguhnya telah berjalan lancar.
Tapi belakangan semakin ke sini kok semakin tidak matang. Perilaku menyimpang justeru cenderung lebih dominan. Demokrasi yang selama ini mengajarkan kita soal tanggung jawab seolah-olah dianggap biasa saja.
Sehingga ada anggapan bahwa menyebarkan berita hoax, fitnah, adudomba untuk menjatuhkan lawan politik sebagai ekspresi dari kebebasan. Padahal itu namanya penyimpangan demokrasi.
Yang membuat perilaku menyimpang itu terjadi lebih terkait karena pematangan proses demokratisasi yang lamban baik di kalangan elite pemerintahan, diikuti oleh perilaku para politisi kita yang tidak matang, disusul oleh proses institusionalisasi lembaga-lembaga politik kita yang belum tertata baik.
Karena tidak diikuti oleh pematangan demokratisasi maka rawan terjadi perilaku menyimpang. Tidak heran bila kemudian cara-cara untuk meraih kekuasaan bisa dilakukan dengan jalan pintas. Begal, misalnya.
Fenomena “pembegalan” yang terjadi pada Partai Golkar saat ini tentu menarik karena diikuti oleh sejumlah tuntutan oleh kalangan elite Golkar sendiri untuk melengserkan Airlangga Hartarto dari kursi ketua.
Yang menarik tentu jika di Partai Demokrat nama Jenderal (Purn) Moeldoko menjadi bagian dari “pembegalan” terhadap partai berlambang mercy itu, di Golkar sampai sejauh ini belum diketahui siapa sesungguhnya berada di balik upaya pelengseran Airlangga Hartarto itu.
Tapi yang pasti, dari informasi yang beredar beberapa saat setelah Airlangga Hartarto yang tidak lain adalah Menko Perekonomian dipanggil ke Gedung Bundar Kejagung RI sebagai saksi ekspor CPU, tanpa angin dan hujan tiba-tiba muncul statemen dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang mengaku siap menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Hal itu disampaikan LBP ketika dimintai tanggapan saat berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-Kura Bali, di Denpasar Selatan, Selasa, (25/7/23).
Jenderal (Purn) LBP mengaku siap bila banyak kader Partai Golkar yang mendukungnya. Padahal, sepengetahuan khalayak kepemimpinan Airlangga Hartarto sendiri baru akan berakhir usai Pemilu 2024.
Pengamat Politik BRIN Siti Zuhro sebagaimana dikutip dalam diskusi ILC itu menyoroti pentingnya mengungkapkan siapa sesungguhnya dalang di balik gonjang-ganjing yang terjadi di internal Partai Golkar terkait Munaslub Golkar untuk mengganti Airlangga Hartarto, itu.
Partai Golkar tentu harus menunjukkan tekad tidak mau diintervensi atau dipecah belah oleh pihak luar dan harus menunjukkan perjuangannya tidak hanya diam seolah-olah tak terjadi apa-apa. Mereka harus membuka kepada publik siapa dalang di balik rumor itu.
Di mata Prof Tonny Pariela, demokrasi menuntut pematangan semua pihak baik dari sisi individu dalam hal ini elite partai atau pelaku politik, institusi atau lembaga politik.
Harus selalu mengedepankan pendekatan politik yang beradab. Pandangan atau visi dan misi partai haruslah sejalan dengan sikap dan perilaku elite politik sesuai tujuan dan target partai.
Jika pendekatan politik yang beradab tidak dikedepankan sangat rawan disalahgunakan. Dalam politik semua kelemahan itu bukan tidak mungkin bisa menjadi rawan bagi Anda untuk “dibunuh” atau terbunuh oleh lawan politik.
Mengutip ungkapan Winston Churchil yang diucapkan di hadapan House of Commons Inggris, 11 Nopember 1947, disebutkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang buruk, tetapi ia merupakan yang paling baik di antara semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dari masa ke masa.
Demokrasi hanya bisa berdiri tegak jika semua para pelaku politik, lembaga politik, dan lembaga negara sama-sama punya kematangan dalam menegakkan demokrasi. Karena seperti ungkapan Winston Churchil itu demokrasilah merupakan yang terbaik dari semua bentuk pemerintahan.
Sejak sistem Komunis di era rezim Uni Soviet berkuasa kala itu ia dianggap merupakan satu-satunya sistem politik paling bagus. Tapi seiring jatuhnya rezim Soviet dan bubarnya Komunis tidak lagi dibanggakan. Kini kita berada di era demokrasi dan kapitalisme yang menjadi jargon dunia Barat dianggap sebagai yang terbaik.
Di mata Prof Tonny Pariela yang mantan Dekan Fakultas SOSPOL Unpatti, itu proses demokrasi kontemporer kita saat ini belum menunjukkan tingkat kematangan yang baik. Ditandai oleh masih lemahnya sistem rekruitmen keanggotaan partai, proses kaderisasi, juga lemahnya pematangan dari sisi institusionalisasi lembaga-lembaga partai politik.
Dari beberapa hasil disertasi yang dilakukan oleh mahasiswanya ia menjumpai dalam kajian mereka itu menyebutkan salah satu kelemahan proses pematangan demokrasi itu diawali karena lemahnya lembaga-lembaga pendidikan politik yang dilahirkan oleh institusi-institusi partai.
Padahal dengan menghidupkan lembaga-lembaga pendidikan politik di internal partai ikut mendukung proses demokratisasi terbangun dengan baik. Baik dari segi internal partai maupun dari segi eksternal dengan para stakeholder.
Menghadapi politik kontemporer di Tanah Air kita saat ini baik elite politik maupun institusi partai politik tentu harus terus berbenah baik dari internal partai maupun eksternal.
Jadi tidak saja berkutat pada hal-hal praktis saja, tapi kedepan partai-partai politik harus juga membangun investasi jangka panjang menyangkut pembenahan pada sumber daya manusia di bidang pendidikan politik sejak dari tahap rekrutmen keanggotan harus menjadi skala prioritas untuk kader-kader politik.
Jika ini tidak terbangun dengan matang boleh jadi akan menimbulkan perilaku kurang baik yang dilakukan oleh elite politik ataupun oleh masyarakat.
Ini semua akan memicu munculnya perilaku menyimpang dalam demokrasi. Semua cara pun dilakukan demi meraih jabatan dan kekuasaan. Termasuk dengan cara-cara membegal partai politik segala.
Jika cara-cara itu yang terbangun bisa jadi mereka beranggapan bahwa menyebarkan berita hoax, fitnah, adudomba dan membegal partai politik dianggap sebagai hal biasa.
Padahal dalam sebuah tatanan negara yang menjunjung tinggi demokrasi selalu mengedepankan azas bahwa di balik kebebasan ada yang namanya tanggung jawab.
Jadi demokrasi itu mengajarkan tanggung jawab. Jangan beranggapan bahwa bebas kemudian menganggap menyebarkan berita hoax, fitnah, adudomba untuk menjatuhkan lawan politik sebagai ekspresi dari kebebasan. Itu namanya penyimpangan demokrasi.(*)