Di kalangan para mufassirin atau ahli tafsir menyebutkan ada sebuah ungkapan tentang keberkahan suatu ilmu yang berbunyi: “Al’ilmu rahimun baina ahlihi.”
Ilmu itu, di mata para ahli tafsir, seperti rahim yang punya ketersambungan. Ibarat sebuah keturunan yang tidak terputus. Ilmu itu laksana rahim bagi pemiliknya.
Pun keberkahannya. Keberkahan suatu ilmu akan selalu mengalir baik melalui tangan dari kedua orang tua kita atau melalui perantaraan dari guru-guru kita.
Ungkapan bijak di atas saya tangkap dalam suatu kesempatan dialog antara seorang murid Ustad H. Sayid Mudzakir Assagaf, Lc, di hadapan gurunya KH. Ikram Ibrahim, Lc (73), yang digelar bersama orang tua murid dalam rangka menyongsong Milad ke-35 Alkhairaat Ambon 27 Agustus 2023, di Pondok Pesantren Alkhairaat, Kampung Kota Jawa, Ambon, Minggu, (25/6/23).
Siang itu, Pimpinan Pondok Pesantren Alkhairaat Ustad Ikram Ibrahim sengaja mengundang orang tua sekaligus alumni dalam rangka persiapan ulang tahun ke-35 Pondok Pesantren Alkhairaat.
Ikut diundang dua alumninya yaitu Ustad Sayid Mudzakir Assagaf dan Ustad H. Fachry Alkatiri yang merupakan alumni pertama sejak lembaga itu didirikan oleh sang pendiri Ustad Ikram Ibrahim di Ambon 35 tahun lalu.
Dari hasil didikan Ustad Ikram Ibrahim itu kedua alumni Alkhairaat Ambon ini termasuk sosok politisi yang sukses. Tidak saja mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan tinggi agama di luar negeri, tapi juga berhasil menempatkan mereka pada posisi penting sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku dan Wakil Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur.
Karena kesuksesannya itu oleh sang guru Ustad Ikram Ibrahim sengaja mengundang mereka untuk memberikan testimoni tentang Pondok Pesantren Alkhairaat Ambon yang telah ikut mengharumkan nama baik lembaganya itu.
Saat itulah Ustad Sayid Muzakir Assagaf menguraikan pentingnya peranan seorang guru dan ilmu yang diajarkannya.
Ia mengibaratkan guru dan ilmu itu seperti rahim bagi pemiliknya yang punya ketersambungan keturunan yang tidak terputus.
“Dua orang pemilik ilmu laksana dua orang bersaudara. Seorang murid adalah laksana anak bagi gurunya, dan guru laksana bapak bagi murid-muridnya. Mereka terhubung dengan ilmu yang mereka miliki,” ujarnya.
Mereka yang menuntut ilmu akan punya ketersambungan pada rahim keilmuan pada seorang gurunya. Ilmu mereka pasti akan tersambung pada sumber rahim keilmuan yang sama dan akan terus mengalir walau jasad seorang guru telah tiada.
Nama Ustad Ikram Ibrahim tidak lain adalah guru agama sekaligus pendiri Pondok Pesantren Alkhairaat Ambon tempat dimana sang Ustad Syaid Mudzakir Assagaf menimba ilmu 35 tahun lalu.
Dari lembaga pendidikan yang dulu berawal dari sebuah Taman Pengajian Al-Quran di Air Salobar, Ambon, lalu berkembang menjadi Pondok Pesantren Alkhairaat.
Acara temu alumni hari itu oleh Ustad Ikram Ibrahim sengaja mengundang Ustad Sayid Mudzakir dan Ustad Fachry untuk memberikan testimoni.
Selain Ustad Sayid Mudzakir Assagaf yang dikenal sebagai politisi dan mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku juga diundang Ustad Fachry Husni Alkatiri yang tidak lain mantan Wakil Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur ikut memberikan komentarnya seputar pondok mereka.
Memasuki usia ke-35 tahun lembaga pendidikan yang dibina Ustad Ikram Ibrahim ini telah melahirkan para alumni berprestasi. Kedua alumni terbaik ini sempat mengecap pendidikan di LIPIA Jakarta dan Universitas Madinah di Saudi Arabia.
Menurut Sayid Mudzakir Assagaf melalui rahim keilmuan dan perantaraan seorang guru kita bisa dipertemukan dalam sebuah forum.
Ia mencontohkan dirinya yang saat ini adalah menjadi bagian penting dari pengelola Yayasan Pendidikan Insan Cendekia di Ambon, tapi saat yang sama ia juga bisa menjadi bagian dari Pondok Pesantren Alkhairaat Ambon.
“Pun Pak Fuad Azuz (orang tua wali murid). Walau sehari-harinya adalah Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Wathan Ambon tapi beliau mau menyekolahkan anaknya di Pondok Pesantren Alkhairaat. Begitu pun yang lain. Boleh jadi semua ini karena ada rahim keilmuan yang menjadi warisan dari orang-orang tua kita atau bisa saja karena pengaruh faktor keturunan,” ujarnya.
Melalui rahim keilmuan pada saat yang sama tanpa sengaja kita semua kelak akan bisa dipersatukan walau secara fisik sesungguhnya kita tidak bersentuhan secara langsung.
“Tentu dengan izin Allah SWT lewat perantaraan seorang guru kita bisa berada pada satu moment keummatan yang sama melalui pondok pesantren bernama Alkhairaat ini,” ujarnya.
Ia mencontohkan sejarah hubungan rahim keilmuan itu bisa ditelisik dari seorang guru dan pelopor pendidikan Yayasan Alkhairaat di Palu yakni Sang Guru Tua Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri.
Secara fisik nama Pondok Pesantren Alkhairaat yang berpusat di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, hampir tidak dikenal di Maluku/Ambon. Selain Palu, nama Alkhairaat justeru hanya populer di Gorontalo, Manado, dan Ternate.
Pendidikan Alkhairaat malah baru diperkenalkan di Ambon pada 1988 oleh seorang guru Ustad Ikram Ibrahim, Lc yang tidak lain juga alumni Pondok Pesantren Alkhairaat Palu 1972.
Dan, melalui tangan (murid-murid) Alhabib Idrus Bin Salim Aljufri itulah ilmunya tersambung ke Ustad Ikram Ibrahim dan diteruskan ke murid-muridnya.
Padahal secara emosional guru mereka ini bukan lahir dan besar di Ambon, tapi nun jauh di Ternate. Namun dengan keberkahan dan rahim keilmuan yang melekat dalam dirinya ia mau datang ke Ambon dan membagikan keberkahan ilmunya itu dan hingga kini terus mengalir kepada murid-muridnya di Tanah Manise.
Terjaganya hubungan dan interaksi antarsesama manusia tidak lepas karena terhubung secara biologis, tapi juga karena ada rahim keilmuan.
Dalam bahasa keseharian kita hubungan biologis itu karena ada hubungan darah atau berasal dari sumber rahim yang terhubung. Hubungan atas dasar biologis ini telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia yakni apa yang disebut dengan istilah “silaturahmi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “silaturahmi” sesungguhnya berasal dari kata “silah arrahim” yang bermakna menyambung rahim.
Untuk hubungan biologis ini Islam mengaturnya secara detail mulai dari anjuran menjaga hubungan kerahiman serta janji akan kebaikan yang didapat bagi mereka yang menjaga silaturahmi.
Pun pentingnya menjaga hubungan silaturahmi dan kepada mereka diluaskan rejeki serta dipanjangkan umurnya. Sebaliknya, ancaman kepada mereka yang meremehkan, memutuskan, atau mengabaikan hubungan silaturahmi.
Prinsip ini sering diulang-ulang oleh para ulama untuk mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga hubungan atas dasar kerahiman ataupun keilmuan.
Mengutip Imam Al-Nawawi dalam pengantar bukunya berjudul: Fiqih “Al-Majmu”, Ustad Mudzakir Assagaf mengatakan, salah satu pelajaran penting menjaga ketersambungan kerahiman keilmuan yakni membaca biografi para ulama. Sebab mereka adalah imam juga adalah leluhur seperti seorang anak untuk orang tuanya.
“Guru dalam ilmu adalah orang tua dalam agama. Yakni penghubung antara seseorang dengan TuhanNya. Maka bagaimana tidak tercela seorang yang tidak mengetahui “garis keturunannya,” melupakan penghubung antara dia dengan TuhanNya, Yang Maha Dermawan dan Yang Maha Mulia?,” ujarnya.
Keberkahan suatu ilmu tidak sekadar dipelajari dengan jalan membaca buku saja. Tapi dengan mendatangi dan bersilaturahmi dengan guru keberkahan ilmu justeru akan memberi makna yang lebih luas.
Hal itu bisa ditandai oleh datangnya hikmah atau kebijaksanaan. Itulah penting silaturahmi karena melalui gurulah kita bisa mendapatkan keberkahan dari tangan mereka.
Keberkahan ilmu itu tidak saja ditandai oleh perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi keberkahan itu selalu diawali melalui perantaraan rahim keilmuan.
Jadi keberkahan melalui rahim keilmuan itu bisa melalui pembentukan karakter yang datangnya dari tangan kedua orang tua kita atau bisa pula melalui perantaraan dari para guru kita.(*)