RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON — Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku, Edyward Kaban, SH., MH, mengatakan, jika penerapan unsur kerugian perekonomian negara dapat diterapkan secara konsisten, maka para koruptor akan dimiskinkan dengan tindakan-tindakan yang agresif.
Demikian disampaikan Edyward dalam sambutannya pada kegiatan Seminar Nasional dalam rangka menyongsong Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-63, yang digelar Kejati Maluku bertempat di Aula Sasana Adhyaksa Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon, kemarin.
“Seperti, penyitaan aset ko
orporasi dan pribadi, aset yang terafiliasi dengan pelaku dan korporasi termasuk keluarga. Bahkan tindakan lebih progresif yaitu memblokir semua rekening pelaku dan yang terafiliasi dengan pelaku tindak pidana,” tegas Edyward.
Dikatakan Edyward, Kejaksaan telah menangani beberapa kasus mega korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang merugikan keuangan negara cukup fantastis, yakni sebesar Rp144,2 triliun dan USD 61.948.551,00, sebagaimana data penanganan Tipikor Kejaksaan tahun 2022.
Hal tersebut, kata Edyward, merupakan sesuatu yang fenomenal bagi Jaksa Agung Republik Indonesia dan jajarannya untuk mengembangkan dan memperluas unsur pembuktian perekonomian negara dengan mempertimbangkan cita hukum, yaitu Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum.
“Ini tentu menunjukkan bahwa proses penegakan hukum dalam parameter kerugian negara mengalami siginifikan hingga ratusan triliunan rupiah,” terangnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan data Laporan Kerja Instansi Pemerintah (LKjIP) pada tahun 2022, Bidang Tindak Pidana Khusus se-Indonesia telah melakukan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp2,7 triliun atau sebesar 62,41 persen dari jumlah pengembalian kerugian keuangan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach).
“Yaitu, sebesar Rp 4,4 Triliun, serta berkontribusi menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara sebesar Rp2,1 triliun atau 75,71 persen dari total PNBP Kejaksaan RI sebesar Rp2.781.077.918.631,” jelas Edyward.
Dia mengatakan, pembuktian tindak pidana yang merugikan perekonomian negara masih mendapat banyak tantangan dalam pelaksanaannya, mengingat konsepsi tersebut masih merupakan konsep yang luas. Oleh karenanya, perlu dibatasi dengan memberikan definisi dan penghitungan besaran yang jelas.
“Penentuan kategori kerugian perekonomian negara dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan kejelasan makna kerugian perkenomian negara itu sendiri. Kategori tersebut dapat ditekankan pada apa yang dimaksud dengan kepentingan ekonomi yang menjadi terganggu akibat adanya tindak pidana yang dilakukan,” papar Edyward.
“Sinergi antar aparat penegak hukum untuk memberikan persamaan persepsi mengenai kerugian perekonomian negara, juga menjadi salah satu hal penting untuk dilaksanakan. Dengan demikian, maka penegakan hukum terhadap tindak pidana yang merugikan perekonomian negara dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien,” tambahnya.
Edyward menuturkan bahwa dampak korupsi telah merusak semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga membuat Kejaksaan harus adaptif terhadap perkembangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan menggali mens rea pelaku, modus operandi yang dilakukan, kerugian yang ditimbulkan serta follow the money guna mencari dan menyelamatkan kerugian negara yang telah timbul akibat perbuatan koruptif itu.
Dia juga menambahkan, dalam penanganan tindak pidana korupsi, semua tahapan penanganan memegang peranan yang sama pentingnya. Namun demikian, semua tahapan penegakan hukum tersebut akan bermuara pada pembuktian di sidang pengadilan.
“Jika berbicara mengenai masalah pembuktian, tentunya ada banyak hal yang saling berkaitan. Sebab pada dasarnya tindak pidana korupsi merupakan jenis kejahatan yang rumit karena dilakukan secara terstruktur, sistematis, masif, dan tertutup. Pada kenyataannya, pelaku tindak pidana korupsi kerap dilakukan oleh orang dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata masyarakat dan pendidikan yang tinggi,” ungkap Edyward.
Di samping itu, lanjut Edyward, pelaku tindak pidana korupsi juga dikarenakan previlege yang timbul terkait dengan adanya hubungan dengan jabatan strategis yang didudukinya. Oleh sebab itu, kejahatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dalam tataran struktur sosial dan ekonomi tingkat atas, sehingga kejahatan ini juga dikenal sebagai white collar crimes.
“Permasalahan rumitnya pembuktian ini juga dikarenakan rumusan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” pungkasnya. (RIO)