RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — DPRD Maluku menggelar rapat mediasi guna meluruskan permasalahan kepemilikan bangunan Ruko Mardika, aset Pemerintah Provinsi Maluku yang kini ditangani oleh pihak ketiga dari PT Bumi Perkasa Timur (BPT) berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS).
Anggota Panitia Khusus (Pansus) Pengelolaan Pasar Mardika DPRD Maluku, Jantche Wenno, mengatakan, menyangkut dengan sewa menyewa di tahun 1987 yang telah dijelaskan oleh penghuni ruko bahwa mereka tidak tahu setelah 30 tahun masa sewa, maka bangunan ruko tersebut menjadi milik pemerintah.
“Yang mendiami Ruko Mardika saat ini ialah ahli waris, walaupun tidak diketahui tapi kelazimannya seperti itu. Sama dengan Amplaz, setelah dibangun maka kemudian 30 tahun dikembalikan ke pemerintah kota. Mari kita dudukan masalahnya, artinya dia berlaku sama. dan lazimnya banyak daerah seperti itu,” ujar Wenno, kepada wartawan, Rabu 21 Juni 2023.
Ia mengaku, persoalan tersebut harus diklasifikasikan terlebih dahulu, karena semua penghuni ruko mengeluh masalah yang sama.
“Jadi kita tentukan status dulu pasca beralihnya perjanjian 30 tahun statusnya seperti apa. Jika statusnya milik pemerintah provinsi baru diatur lagi, sewa-menyewa seberapa besar ongkos yang dibayarkan. Tapi kalau tidak didudukan maka bisa menjadi masalah baru lagi. Karena semestinya kita menentukan hak dulu baru kita bisa mengambil langkah lanjutan,” akuinya.
Ia khawatir kalau misalnya terjadi sengketa di pengadilan, dan untuk menentukan status kepemilikan kalau ternyata para penghuni ruko kalah, maka konsekuensinya harus diekseskusi.
“Ini yang memang harus kita pikirkan. Tapi kalau diakui bahwa pasca 30 tahun dalam perjanjian itu diketahui atau tidak diketahui dikembalikan oleh pemerintah, maka disitu baru kita mengatur. Tadi yang disampaikan masa sewanya Rp 112 juta kalau pemerintah yang tangani cukup 20 juta per tahun,” tandas Politisi Perindo itu.
Aleg Dapil Kota Ambon itu menyebut, hal tersebut bisa dinegosiasikan atau bisa juga dibayar kontan nanti menjadi hak milik, tinggal ditentukan saja mau dibayar langsung atau dengan cara mencicil.
“Ini saya sampaikan sisi buruknya dulu, jangan dulu bicara manis-manis tapi hasilnya jelek. Sebab nanti pada akhirnya kita tentukan status kepemilikan setelah 30 tahun. Sepanjang sudah menandatangi oleh pemilik ruko maka diakui konsekuensi itu pasti sudah diketahui oleh pemilik ruko,” tutur dia.
Sementara itu, salah seorang penghuni ruko, Bapak Mustari, yang diwakili pengacaranya menjelaskan bahwa prosesnya tidak seperti itu.
“Dulu di tahun 1987 ada perjanjian bawah tangan. Bangunan itu dibangun oleh pemilik bukan pihak ketiga atau PT. Bumi Perkasa Timur, ada buktinya, kita pakai bukti itu sebagai bukti PK,” terang Mustari.
Dia juga menjelaskan, ada perjanjian bawah tangan antara PT BPT dengan pihak pemilik ruko menyangkut hak kepemilikan bangunan di tahun 1987 sebanyak Rp 152 juta.
“Coba bapak bayangkan tahun 1987 dibayar segitu untuk bangunan. Berdasarkan hal itu maka terjadi Sertifikat Hak Guna Pakai (SHGP) disitu. Yang jadi persoalan ini yang salah siapa? Sampai BPT bisa alihkan itu kepada orang lain. sementara BPT tidak menunjukan perjanjian dengan pemprov,” kesal dia. (SSL/ RIO)