TENANG DAN LEMBUT. Itulah sosok almarhum DR. Marialdus Ary Herman (M.A.H.) Tahapary, SH, MH (90) atau biasa disapa Pak Buce. Paling tidak begitulah pandangan saya tentang sosok Pak Buce.
Setelah mengenal sekian tahun dalam kepengurusan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Maluku, mantan Ketua PWI Maluku itu merupakan pribadi yang supel.
Sosok kelahiran Ternate 12 Maret 1933 asal Desa Akoon, Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah, itu ternyata bukan saja pribadi yang tenang dan lembut tapi almarhum juga seorang yang penyabar. Di lingkungan keluarganya Pak Buce merupakan figur pendiam.
“Beliau pribadi yang tenang dan tidak pernah marah. Hingga ajal menjemputnya tak pernah terlontar kata kasar kepada anak-anaknya. Beliau adalah seorang yang penyabar,” ujar putri kesayangan almarhum Corin Tahapary, SH, Minggu, (18/6/23).
Dari empat bersaudara Corin Tahapary satu-satunya yang mengikuti jejak almarhum sebagai pengacara. Almarhum selain dikenal sebagai wartawan dan pengacara, juga seorang akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura (UNPATTI) Ambon.
Jejak rekam sebagai pengacara yang “mengalir” ke anaknya itu kini benar-benar menjadi kebanggaan di keluarganya. Itulah mengapa aura Pak Buce selain sebagai pribadi yang dikenal tenang, ia juga merupakan sosok yang lembut dan menjadi kebanggaan sang anak Corin Tahapary.
Semasa hidup ayahnya selalu berpesan kepada putri kesayangannya itu untuk tidak emosional menghadapi setiap masalah apalagi dalam perkara hukum.
Di antara pesan-pesan almarhum itu antara lain disebutkan bahwa orang sabar itu bisa menguasai banyak hal. Dalam menangani kasus hukum, misalnya. Seorang pengacara bisa memenangkan perkara karena sikapnya tenang dan tidak emosional.
“Itulah mengapa seorang saksi bisa berbalik ke pihak lawan. Semua itu hanya karena kesabaran dan ketenangan. Itulah letak kepiawaian seorang pengacara kalau dia mampu menjaga kesabaran dan bisa menguasai emosi,” ujarnya.
Corin Tahapary sangat ingat betul pesan-pesan ayahnya itu. Hingga di usia almarhum 89 tahun pun ayahnya masih tetap setiap mendampingi anaknya untuk sama-sama menangani perkara hukum di Pengadilan Negeri (PN) Ambon.
Kecintaannya pada profesi sebagai pengacara membuat almarhum bergeming dan terus membela hak-hak para kliennya di pengadilan.
Itu pula mengapa meski sosok sang ayah kini telah tiada menghadap Sang Khalik, Corin Tahapary tetap membanggakan orang tuanya itu sebagai sosok terbaik. Tidak saja untuk keluarga, tapi juga untuk daerah ini terutama dalam dunia akademik di Kampus UNPATTI.
“Dari tangan beliau telah lahir begitu banyak anak-didik yang berprestasi. Tidak sedikit berkat karyanya di kampus ini lahir generasi Maluku berkualitas. Walau belum semua, tapi setidaknya almarhum telah berbuat sesuatu yang terbaik untuk daerah ini,” ujarnya.
Adapun di mata sesama wartawan Ketua PWI Maluku Lexy Sariwating menganggap Pak Buce sebagai sosok yang ramah. Selain tenang dan lembut, Pak Buce adalah figur panutan di kalangan wartawan yang tidak pernah membedakan antara yang senior dan yunior.
Semasa hidup almarhum tercatat sebagai saksi hidup yang ikut menyaksikan relokasi Kantor PWI Maluku yang dulu berlokasi di Lapangan Merdeka Ambon kemudian pindah ke salah satu aula di Gedung KNPI, Jl. Said Perintah, Ambon.
Kecintaannya pada PWI Maluku yang telah ikut membesarkan namanya sejak muda membuat ia tidak pelit mengeluarkan uang pribadinya menyewa salah satu ruang Kantor PWI Maluku.
Saat PWI Maluku dipimpin almarhum Pak Roby Sajori kesulitan keuangan almarhum Pak Buce mengontrak salah satu ruang PWI untuk kantor pengacara. Biar uang sewa gedung itu digunakan sebagai kas PWI. Ini bukti kecintaan beliau pada PWI.
Bukti kecintaan beliau yang lain yakni kehadirannya mengikuti kegiatan PWI pada Konperensi PWI akhir Desember 2022 di Hotel Manise lalu. “Hingga memasuki usia 90 tahun beliau masih sempat menghadiri acara PWI. Ini tanda kecintaan beliau pada PWI,” ujarnya.
Mantan wartawan LKBN Antara Ambon itu punya catatan almarhum termasuk salah satu akademisi dan mantan Dekan Fakultas Hukum UNPATTI berada dalam deretan ilmuwan hukum yang menjadi panutan.
Di kalangan dosen dan mahasiswanya, selain sebagai orang tua, ia merupakan guru mereka yang menjadi contoh. Karena sepanjang hidupnya beliau merupakan figur yang tetap menimba ilmu sepanjang hayatnya.
“Terbukti studi S2-nya diselesaikan pada usia 67 tahun dan doktornya diraih saat beliau berumur 86 tahun. Ini sungguh luar biasa,” ujar Alex Sariwating
Pak Buce mempertahankan disertasinya di hadapan dewan penguji dengan judul: “Hakikat Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Landasan Moral Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berkeadilan” dalam Ujian Terbuka Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Unpatti Ambon pada 20 Agustus 2018 saat usianya 85 tahun lima bulan.
*
Kabar duka atas kepergian Pak Buce itu awalnya datang dari sobat saya Bung Novi Pinontoan. Melalui link yang dikelolanya itu ia mengabarkan kalau senior kami itu telah berpulang ke Sang Khalik di RS Bhayangkari, Tantui, Ambon, Jumat malam, (10/6/23).
Selain dikenal sebagai guru dan orang tua, ia juga sebagai akademisi di Kampus UNPATTI, dan mantan Ketua PWI Maluku.
Pak Buce sangat akrab dan mudah dalam pergaulan. Di antara teman-temannya sesama jurnalis ia tidak membedakan yang muda dan tua. Tutur katanya lembut khas Ambon membuat ia senang dalam bertegur sapa bahkan sesekali suka melucu.
Dalam suatu kesempatan saya pernah bertanya soal resep awet muda. Mengapa di usianya yang saat itu sudah di angka 80 tahun tapi masih terlihat segar bugar dan happy. Bahkan masih bisa beracara di Pengadilan Negeri (PN) Ambon.
Dari penuturannya itu ia mengatakan ada tiga hal mengapa di usia yang memasuki masa senja tersebut ia masih terlihat sehat, baik secara fisik maupun daya ingat.
Ada tiga resep ala Pak Buce yang ia sampaikan dan hingga kini saya selalu ingat.
Dalam hidupnya, kata Pak Buce, ia selalu memegang prinsip “Tiga O”. “O” yang pertama, kata almarhum, yakni: Olahraga. “O” yang kedua yaitu: Olahhati. Dan, “O” yang ketiga adalah: Olahpikir.
Dengan Olahraga kita bisa menguatkan otot-otot kita. Dengan Olahpikir membuat otak kita akan terus bekerja untuk hal-hal yang positif. Dan dengan Olahhati kita bisa menjadi tenang karena selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Sebagai akademisi, Pak Buce juga sangat akrab dengan mahasiswanya di Fakultas Hukum Kampus UNPATTI Ambon. Dari tangan dingin beliau lahir putra-putri terbaik hasil didikannya.
Tidak jarang ia memuji mahasiswa untuk mereka yang berprestasi. Dalam buku Autobiografi H.M. Thahir Saimima berjudul: Putra Negeri Sirisori Islam, Dari Universitas Pattimura untuk Maluku dan Indonesia, terbitan tahun 2010 pada halaman komentarnya ia memuji mantan mahasiswanya yang tidak lain bekas Wakil Ketua Komisi Yudisial RI Periode 1999-2004 sebagai seorang futuristik.
Pakar hukum UNPATTI Ambon yang menjadi dosen pembimbing skripsi M.Thahir Saimima oleh Pak Buce diakui sebagai sosok yang vokal pada masa kuliah.
Keberaniannya didukung oleh daya kritis yang sangat menonjol serta aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler. Tidak seperti mahasiswa lain yang hanya kuliah saja. Hal itulah yang menjadi bekal baik buat seorang Thahir Saimima pada saat mana ia menjadi orang penting di Komisi Yudisial RI dan mantan politisi DPP PPP itu.
Dalam bukunya itu, Pak Buce teringat skripsi putra asal Pulau Saparua dari Desa Sirisori Islam yang menguraikan tentang: Sistem Peradilan Berdasarkan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang mengupas independensi Mahkamah Agung di Kampus Unpatti puluhan tahun lalu.
Hakim saat itu, kata dia, berada di bawah dua kepemimpinan negara yaitu urusan organisasi, administrasi dan keuangan diurus oleh eksekutif melalui Departemen Kehakiman yang sekarang kita kenal sebagai Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan urusan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung.
“Dengan kata lain perut hakim ada di eksekutif sedangkan kepala hakim di Mahkamah Agung. Dengan demikian kemungkinan tegaknya independensi sistem peradilan sangat sulit karena ada intervensi pemerintah,” ujarnya.
Di sini, begitu ditulis pada buku autobiografi Pak Thahir Saimima itu, dalam melihat masalah independensi peradilan ada perbedaan antara Pak Buce dengan sang mantan mahasiswa itu.
Pak Thahir Saimima dalam konteks ini menginginkan peradilan berada dalam satu atap yang tidak terpengaruh apapun, termasuk pengaruh pemerintah. Melalui sistem tersebut maka peradilan bebas dan berdiri dalam tatanan kelembagaan yang independen.
Sedangkan Pak Buce melihat tidak perlu memisahkan lembaga peradilan sebagaimana yang masih berjalan pada saat itu. Meskipun pandangan mereka berbeda soal pemisahan lembaga peradilan, namun pemikiran Pak Buce dan Pak Thahir Saimima tetap sama yaitu menjunjung tinggi independensi lembaga peradilan.
Berdasarkan rasionalitas dan pemikiran Pak Thahir Saimima kala itu kini sudah menjadi kenyataan bahwa sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung. Atas dasar itulah dalam buku autobiografi Pak Thahir Saimima itu almarhum memuji sang mantan mahasiswanya itu sebagai sosok futuristik.
Pertemuan terakhir saya dengan Pak Buce terjadi Desember 2022 lalu. Saat itu saya sempat masih berkomunikasi dengan almarhum saat mengikuti Konperensi PWI Maluku yang dibuka Gubernur Maluku Murad Ismail di Hotel Manise, Rabu, (28/12/22), Ambon.
Di PWI Pak Butje termasuk satu di antara anggota PWI yang masuk kategori penerima Kartu PWI Seumur Hidup yang punya hak suara.
Tentang sosok Pak Butje ini saya juga pernah menulis soal beliau di Koran Rakyat Maluku sebelumnya menyangkut hubungan baik dengan mantan gubernur Hasan Slamet tahun 1970-an hingga 1980-an saat mana dia memimpin PWI Maluku.
Selain soal kiat sehat dan resep awet muda ala Pak Buce yang dikenal dengan “Tiga O” itu, saya juga pernah menulis soal pengalamannya sebagai mantan wartawan dalam hal adu ketangkasan hingga membuat sang gubernur Hasan Slamet harus dibuat terkapar di lapangan golf.
Selamat jalan sang penyabar. Semoga tenang dan damai di sisiNya.(***)