RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Pendidikan kasus dugaan korupsi anggaran penjualan lahan transmigrasi milik negara seluas 2.000 hektar di Kecamatan Bula Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), mulai mandek di meja Pidsus Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku.
Padahal, penyelidik telah melakukan on the spot atau pemeriksaan di tempat sejak tahun lalu.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku saat itu, Undang Mugopal, kepada media ini pada 16 Maret 2022 lalu, juga pernah mengatakan bahwa sejumlah pihak terkait telah dipanggil oleh penyelidik untuk diminta keterangannya.
Sayangnya, hingga Juni 2023 ini, penanganan kasusnya tak kunjung ada perkembangan.
Praktisi Hukum, Marnex Ferison Salmon, SH, meminta Penyelidik Pidsus Kejati Maluku agar dapat transparan ke publik terkait hasil penyelidikan kasusnya.
Tujuannya agar masyarakat tidak menilai Kejaksaan sebagai lembaga anti korupsi yang gagal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
“Kejaksaan tidak bisa seenaknya mendiamkan suatu kasus yang ditangani, apapun hasilnya harus transparan ke publik agar masyarakat juga mengetahui perkembangan kasusnya sudah sejauh mana. Kalau diam seperti, maka banyak spekulasi negatif yang muncul di tengah-tengah masyarakat,” kata Marnex, kepada koran ini di Ambon, tadi malam.
Dia juga meminta Penyelidik Pidsus Kejati Maluku agar dapat menuntaskan kasus tersebut dan berharap penyelidik tidak “masuk angin” (disuap), yang dampaknya membiarkan penanganan kasus ini terkatung-katung tanpa ada kejelasan hukum yang pasti.
“Aturannya itu kalau selesai on the spot, harus ada tindak lanjut, tapi kalau tidak ada tindak lanjut, berarti ada yang tidak beres, seperti mungkin jaksa masuk angin. Tapi semoga Kejati segera menetapkan pihak-pihak yang patut diduga atau para mafia tanah sebagai tersangka sebagai efek jerah,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Maluku, Wahyudi Kareba, mengatakan, dalam proses penyelidikan kasus tersebut, penyelidik belum menemukan fakta-fakta yang mengarah ke perbuatan pidananya.
“Belum ditemukan indikasi penyimpangan. Kalau nanti ditemukan fakta baru, maka tidak menutup kemungkinan akan ditindaklanjuti. Intinya belum ditemukan perbuatan pidananya,” papar Wahyudi.
Sebelumnya, Sekretaris Badan Koordinasi Daerah (Bakorda) Persaudaraan Pemuda Etnis Nusantara (PENA) Kabupaten SBT, Rahman Rumuar, menduga ada oknum pejabat daerah yang terlibat dalam penjualan tanah di kawasan transmigrasi tersebut.
Pasalnya, Polres SBT maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) SBT yang sejak awal menangani kasus ini, tak kunjung menuntaskan kasusnya. Padahal, terlapor dalam kasus ini hanya seorang tokoh masyarakat Negeri Banggoi, Tofilus Henlau.
“Awalnya masyarakat Negeri Hote melaporkan kasus penjualan lahan ini ke Polres SBT pada September 2021, namun kasusnya dihentikan. Kemudian kasus ini dilaporkan ke Kejari SBT, namun tak kunjung ada perkembangan hingga akhirnya kasusnya diambil alih oleh Kejati Maluku. Artinya, ada oknum dibelakang terlapor Tofilus Henlau itu,” bebernya. (RIO)