Oleh: Arman Kalean, M.Pd
(Dosen IAIN Ambon, Ketua KNPI Maluku)
RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON — Ideologi yang menjadi alas hukum terbentuknya Republik Indonesia, begitulah Pancasila yang lahir dengan perdebatan pada 78 tahun silam. Yang perlu dilihat dalam rentang sejarah ini, bukan hanya fokus pada isi perdebatan, namun lebih pada dialog untuk menerima Pancasila sebagai konsensus hidup bersama.
Untuk itulah 1 Juni dijadikan monumen saling berterima perasaan sesama anak bangsa, di awal pencarian formulasi yang tepat, dan dalam tempo singkat. Pada situasi inilah, sosok Sukarno tampil, memimpin dari pertemuan besar hingga tim kecil.
Peran Sukarno ini yang diakui Presiden SBY pada tahun 2011 silam, meski usulan hari lahir Pancasila baru diteken Presiden Jokowi lima tahun setelah itu. Maka perlu menjadi renungan bersama, bagaimana Pancasila akhirnya diterima dengan kedewasaan merenung oleh para pendiri bangsa waktu itu.
Pancasila adalah Saripati Keadaban Nusantara
Sukarno sendiri menyebut dirinya sebagai “Penggali”. Lepas dari debat antara pendukung Yamin tentang rilis awal konsep Pancasila, Hatta juga telah membenarkan keotentikan pikiran Sukarno. Dan sesudahnya, bisa dilihat pada pidato Sukarno di berbagai kesempatan tentang perasan Pancasila menjadi Trisila, kemudian Ekasila.
Hemat saya, perasan Trisila sangat mencerminkan sisi Ideologis-Tekstualis. Karena bila kita melihat Sosio Nasionalisme yang dijabarkan dari pikiran Gandhi, juga Sosio Demokrasi yang rasanya teremanasi dari Ekonomi dan Politik ala Marxian. Dimana, Sosi Demokrasi dibagi menjadi Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik.
Setidaknya, Marxian yang dimaksud bukanlah searah praktik Komunisme. Tapi barangkali, kesan turunan paradigma yang dapat kita peroleh dari pandangan Jeanne S. Mintz saat menulis “Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia”. Apalagi, beberapa kali dalam uraian-urain Sukarno, secara jelas Ia menuliskan nama Otto Bauer, seorang Marxis Austria yang juga dianggap inspirator bagi Gerakan Neo Marxian atau New Left (KIRI Baru).
Selain itu, tersebutkannya poin Ketuhanan menambah ketegasan reformulasi terhadap ideologi Marxian tersebut. Dengan kata lain, Sukarno boleh kita anggap meminjam bahasanya Magnis Suseno sebagai Revisinois (Pembaharu) Marxis yang bukan Komunis. Kehadiran Sila Ketuhanan sebagaimana paparan Sukarno, merupakan pengamatan yang teliti terhadap Manusia di Nusantara yang Agamis (Homo Religiousus).
Berangkat dari hasil amatan Sukarno yang mendalam ini, pada kesempatan lain, Sukarno memaparkan bahwa Declaration of Independet (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) masih rendah, perlu ditinggikan dengan Sosialisme. Sementara, Das Manifest der Kommunistischen Partei (Manifesto Partai Komunis) juga masih rendah, perlu ditinggikan dengan Nilai Ketuhanan.
Jadi, semakin jelas posisi Ketuhanan dalam Trisila kurang lebih sama saat diluaskan menjadi Pancasila. Sebagai Penggali, Sukarno memahami benar kebudayaan masyarakat asli di Nusantara, yakni mempercayai adanya Sang Pencipta.
Bisa dilihat dalam berbagai tinjauan Sosiologi Agama, banyak sekali keberadaan Agama Lokal di Nusantara yang belum diresmikan sebagai Agama resmi. Sebut saja Agama Parmalim dalam masyarakat Batak, atau kepercayaan lokal lainnya di berbagai daerah yang belum dikenal penyebutannya secara luas.
Keberadaan kepercayaan lokal ini, bahkan jauh ada sebelum datangnya gelombang Agamawan Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Demikian sudut pandang Sosio-Teologis melihat keseharian masyarakat Nusantara pada masa lampau.
Pada perasa Ekasila, Gotong Royong, adalah intisari dari Pancasila itu sendiri yang dimampatkan. Gotong Royong adalah kebiasaan kerja bersama oleh komunitas masyarakat Nusantara, yang telah ada dalam hampir setiap kultur masyarakat pada berbagai suku di Nusantara. Hanya berbeda penyebutan saja. Misalnya di Maluku Tengah ada istilah “Masohi”, Maluku Tenggara ada istilah “Maren”.
Semakin diperas, semakin kelihatan sangat sesuai dengan keadaban budaya di Nusantara. Gotong Royong dapat diartikan sebagai aktivitas praktik dari akhlak yang tinggi, cerdas lahir bathin, kaya budi pekerti. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bersama dalam suka dan duka. Kurang lebih makna dalam konteks kerja bersama yang ikhlas.
Dengan pengertian tersebut, Ekasila menjadi kuat nilai teologisnya. Bagai rumus E=MC2 yang terlihat begitu sederhana, namun dibalik itu terdapat penurunan rumus yang cukup melelahkan. Gotong Royong melatih Manusia menjadi ahli manfaat bagi manusia lain, tidak individualis. Sehingga, Ekasila melekat di dalamnya praktik Sosialis-Relijius.
Mungkin karena Sukarno juga seorang Eklektis, sekaligus cerdas dalam membahasakan kerumitan istilah, maka dengan sederhana pula Dasar Negara Indonesia bisa dimaknai menjadi hanya dua kata, yaitu Gotong Royong. Andai Pancasila mau diperas langsung menjadi Ekasila.
Pancasila untuk Peradaban Dunia
Bukan tak mungkin, kalau diteliti lebih jauh, rata-rata pola kehidupan primitif manusia memang sama. Di daratan mana saja, di atas bentangan planet bumi. Aktivitas kerja bersama, bisa jadi ada pada setiap komunitas masyarakat kecil masa lampau. Hal ini menjadi keyakinan dalam tahapan perkembangan sejarah masyarakat menurut Marxian. Namun, perlu diingat, aktivitas kerja bersama itu bukanlah semakna dengan Gotong Royong menurut Ekasila.
Menurut saya, pandangan ini tentu berbeda dengan pola komunal yang dimaknai oleh Sukarno. Kehidupan komunal primitif itu menggambarkan Manusia hidup dalam grup-grup kecil, Keluarga Kecil, mengikuti bayangan kehidupan Manusia Purba di dalam Ceruk atau Gua-gua. Sedangkan permenungan Sukarno, komunal sudah termuati sisi religiusitas. Artinya, Manusia tidak dilihat dalam posisi evolusi sebagaimana keyakinan Darwin yang diulas kembangkan oleh Engels.
Acuan berpikir itu yang membedakan awal komunal primitif, hingga nanti menuju kepada tahapan perkembangan masyarakat yang terkahir. Bukan komunal modern seperti gambaran Marx, melainkan menurut Sukarno adalah terciptanya masyarakat Adil Makmur.
Jika adil tercermin dalam proses demokrasi politik, maka Makmur refleksi dari proses demokrasi ekonomi. Politik yang musyawarah mufakat, ekonomi yang kooperasi. Dan, pada semua lapangan kehidupan dalam membangun Indonesia, mestinya makna ini yang dipegang sambil menjalankan roda pemerintahan dari para pemimpin.
Melihat dinamika global dengan laju teknologi yang pesat beberapa dekade belakangan ini, terjadi krisis Ekologi, pandemi virus, perang teritorial akibat krisis Sumber Daya Alam (SDA), meluasnya keyakinan Agnostik, Eksperimen Gen Manusia dengan Hewan, jumlah kekayaan yang semakin terkonsentrasi pada segelintir orang saja, ambisi menghuni di planet lain, dan berbagai dampak destruksi akibat disrupsi pada nyaris segala bidang.
Maka, sudah sewajarnya Pancasila perlu didengungkan lagi menjadi Ideologi pasifikator (Pendamai) bagi tata dunia global saat ini. Lebih jauh, rasa saya, Pancasila tidak sekedar menjadi pendamai konflik global. Pancasila dapat menjadi penuntun keadilan ekonomi antara keyakinan sistem kapitalisme dan keyakinan sistem teologis dalam kerangka kepemilikan individu.
Pancasila mengharuskan budaya dialog, bukan semata kompromi akibat penekanan takut resiko untung rugi. Keberadaan orang sangat kaya dan orang sangat miskin/miskin ekstrim ditengahkan dengan upaya orang sejahtera/orang berkecukupan melalui rasa adil, bukan rasa terpaksa. Hal inilah yang menjadi pangkal pesan Prof Machfud MD pada satu kesempatan pidatonya, “Orang Miskin zaman dulu tidak protes karena pemimpinnya berlaku adil”.
Sekarang, tinggal bagaimana masyarakat Indonesia optimistis terhadap Pancasila itu sendiri. Kita perlu mengkampanyekan Pancasila sebagai mercusuar peradaban alternatif kepada masyarakat Global, sambil menciptakan rasa adil pada rakyat kita sendiri. Tugas berat ini, tentu perlu Gotong Royong dari semua pihak.
Semoga tema hari lahir Pancasila di tahun 2023, “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”, tak menjadikan Pancasila hanya sebagai motivasi kerja paksa bagi Rakyat Indonesia untuk sekadar memaklumi pandemi Covid 19 dan krisis SDA yang semakin menganga. (*)