RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Bagi yang pernah membaca artikel yang ditulis almarhum budayawan dan pemikir Maluku Thamrin Ely pada Kolom Khas Komentar Tamrin Ely di Koran Radar Ambon, Senin, 30 Mei 2011 berjudul: Ralahalu Habis Manis, tentu tidak lagi terkejut melihat setiap “gejolak” politik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maluku saat ini.
Ralahalu saat itu oleh elite internal partai pernah diminta mundur karena dianggap gagal atas kekalahan telak paket kandidat PDIP pada sejumlah Pemilukada di Maluku seperti di Kota Ambon dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Sikap diam Ralahalu yang tidak mengomentari kekalahan kader PDIP saat itu membuat mantan Danrem Pattimura itu dikecam.
Sangat naif, tapi ini terjadi di PDIP Maluku.
Thamrin Ely menulis, semua “manis” yang pernah dihasilkan Karel telah habis “dikunyah” barisan PDIP Maluku, dan ketika tinggal “sepahnya” itu diserahkan kepada Karel untuk ditelan sendiri.
Di mata pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Fisipol Unpatti Ambon Said Lestaluhu, M.Si, ada perbedaan pola komunikasi yang terbangun pada kedua sosok antara Karel Alberth Ralahalu dan Murad Ismail.
Kasus pembebasantugasan yang dilakukan oleh DPP PDIP terhadap Ketua DPD PDIP Maluku Murad Ismail yang tidak lain adalah Gubernur Maluku itu selain faktor internal partai juga faktor eksternal.
Ada tipologi komunikasi di internal PDIP Maluku yang dibangun Pak Karel kala itu cukup baik. Maklum saat ia mengawali kepemimpinannya Maluku saat itu masih dalam masa transisi dari konflik ke rekonsiliasi.
“Karena itu dibutuhkan sebuah pola komunikasi yang cair,” ujarnya ketika saya menghubunginya, Minggu, (21/5/23).
Jadi setajam apapun perbedaan di internal PDIP Pak Karel selalu memilih sikap diam. Tak heran jika kemudian terjadi gejolak terkait masalah internal ia selalu memilih jalan bijaksana.
Ia tidak mau mengomentari walau didesak wartawan dan dengan lunak ia selalu mengutarakan ungkapan: “ini persoalan intern” karena itu tidak layak untuk dipublikasi.
Boleh jadi pola komunikasi semacam itu tidak terbangun saat kepemimpinan PDIP Maluku yang dipimpin oleh Pak Murad Ismail yang mantan Dankorps Brimob itu.
Di tengah lemahnya hubungan komunikasi secara internal partai tentu dibutuhkan mekanisme komunikasi yang intens tidak bersifat komando.
Di satu sisi memang ada kebutuhan internal partai untuk mereorganisasi agar PDIP Maluku tidak menjadi organisasi yang pasif. Di sisi lain tidak terbangun sebuah sistem komunikasi yang intens. Desakan itu tentu tidak lepas dari kebutuhan partai dalam rangka menyambut pesta demokrasi 2024.
“Di tengah lemahnya pola komunikasi diikuti oleh persoalan kepemimpinan di internal partai bisa saja mereka yang tadinya telah membangun faksi-faksi melakukan upaya tambahan untuk mendelegetimasi kepemimpinan Pak Murad,” ujarnya.
Dalam politik fenomena semacam itu sudah biasa terjadi. Meminjam ungkapan salah satu adagium bahwa dalam politik tidak ada istilah salah dan benar. “Yang ada adalah kalah dan menang,” ujarnya.
Lalu, apakah dengan keputusan DPP PDIP melengserkan Pak Murad Ismail pengaruh PDIP di Maluku akan meredup?
“Pasti ada pengaruhnya. Tadinya, dengan kepemimpinan Pak Murad Ismail dukungan suara dari komunitas Islam bisa mendongkrat suara PDIP. Tapi dengan lengsernya beliau ditambah lagi faktor like and dislike di kalangan internal PDIP membuat reputasi PDIP Maluku bakal tergerus,” ujarnya.
Said Lestaluhu punya harapan kedepan PDIP Maluku harus punya kepemimpinan yang kuat jika tidak tergerus oleh perubahan baik karena faktor internal maupun eksternal. “Kedepan PDIP Maluku harus punya strong leader yang kuat,” ujarnya.
Keputusan elite PDIP mengganti kepemimpinan Pak Murad Ismail tersebut membuat PDIP Maluku –meminjam istilah Thamrin Ely— tidak ubahnya menjadi epigon dari apa yang sering dilakukan gerakan pemuda dan mahasiswa.
Kalau ada kasus yang diprotes melalui demo dan perang statement, selalu ujung-ujungnya meminta turun pejabat bersangkutan. Apa-apa turun, apa-apa ganti, apa-apa copot.
“Tak pernah dengan kedewasaan berfikir, menganalisis suatu persoalan dan menemukan solusi tepat, seperti mencabut seutas rambut dari tepung,” tulis Thamrin Ely.
Dalam kasus PDIP semacam ini sesungguhnya tersedia Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai yang mengatur bagaimana seorang pimpinan dipilih, diangkat, dan diberhentikan.
Pada partai yang memiliki disiplin tinggi, setiap persoalan yang sifatnya internal sangat dijaga agar tidak menjadi konsumsi publik sebelum waktunya.
Jika itu persoalan internal tidak pantas menjadi konsumsi khalayak. Bukan belum apa-apa sudah diumbar ke publik.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa ini terjadi pada partai seperti PDIP?
Tidak bisa tidak, persaingan di antara sesama elite politik PDIP sebagaimana ditulis Thamrin Ely untuk menguasai partai tersebut semakin terkuak ke permukaan.
Faksionalisasi lokal memang sulit dihindari, paling tidak sejak Karel Ralahalu memasuki periode kedua jabatan gubernurnya.
Thamrin Ely punya analisis dan dengan mudah kita bisa membagi menjadi tiga faksi. Pertama kader senior (orang lama), sayap intelektual (akademisi), dan kelompok mapan (established).
Dengan gampang pula tokoh dibalik faksi-faksi tersebut ia identifikasi. Cois Nikijulu bersama Evert Karmite berada pada kader senior. Adapun Bito Temmar sebagai tokoh intelektual, dan Karel Ralahalu sendiri yang berada di depan sebagai kelompok mapan.
Kata Thamrin Ely, forum akar rumput (tidak dalam kriteria sesungguhnya sebagai grass root) adalah kelompok yang dieksploitasi oleh para elite yang bertikai.
Artinya, kalau sekarang dimanfaatkan oleh orang-orang lama, suatu ketika bisa ditarik pada kubu intelektual atau bahkan kelompok mapan. Hubungan antara akar rumput dengan elite, bukankah irrasional dan patron-client serta berdasarkan jaringan kebrokeran? (Mahrus Irsyam: 2003).
Mengutip Thamrin Ely, seyogianya di tengah menghadapi persoalan internal adalah alasan bagi faksi-faksi itu bergerak. Mestinya kelompok intelektual tidak tinggal diam tapi tampil dengan sejumlah pertanyaan, mengapa ini terjadi, bagaimana dampaknya, bagaimana solusi, dan seterusnya.
Kata Thamrin Ely, demokrasi yang dibangun itu haruslah dengan implementasi berdasarkan norma, kaidah, nilai, serta sopan-santun. Bukan dengan mengabaikan etika dan moral politik, yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri.
Dan, tentu tidak cukup hanya dengan “memanfaatkan” faktor emosional seseorang lalu kemudian kita mendelegetimasi kemimpinannya dari kursi ketua sebagaimana yang dialami Pak Murad.(*)