RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Awan kelam kini menyelimuti persiapan atlet-atlet dan pelatih-pelatih cabang olahraga Maluku menuju kualifikasi Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2023 dan PON XXI 2024 Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
Informasi beredar di khalayak olahraga menyebutkan akibat kekosongan anggaran daerah ini memaksa pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Maluku batal membentuk Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) Indoor Pra PON 2023 dan PON 2024 Maluku.
Atas dasar itu pula Satuan Tugas (Satgas) Pelatda PON 2023 dan PON 2024 Maluku urung diadakan karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan KONI setempat tak sanggup memikul pembiayaan honorarium anggota-anggota Satgas tersebut.
Luka kian menganga setelah Pemprov Maluku melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Maluku dan Panitia Besar (PB) Pekan Olahraga Provinsi Maluku (Popmal) IV 2022 masih memikul beban hutang terhadap honorarium panitia pelaksana cabor, delegasi teknik (technical delegate), dan biaya keamanan di tengah kucuran anggaran Pemprov Maluku sebesar Rp. 8 Miliar.
Sebagai bahan komparasi (perbandingan), di PON XVII 2008 Kalimantan Timur pengurus KONI Provinsi Maluku menghabiskan Rp. 7,5 Miliar, sementara di PON XVIII 2012 Riau pengurus KONI Provinsi Maluku menggunakan kekuatan anggaran sebesar Rp. 6,5 Miliar.
Perhelatan Popmal IV 2022 disebut-sebut menjadi “pembawa sial” bagi persiapan Maluku ke dua event nasional akbar, yakni Pra PON 2023 dan PON 2024.
Jika kekosongan anggaran menjadi alasan mendasar tidak dibentuknya Pelatda Pra PON 2023 dan PON 2024, lantas untuk apa ada pengurus KONI Provinsi Maluku? Kan lebih baik KONI Provinsi Maluku dibubarkan saja daripada ada tapi tidak bekerja dan lebih fokus mengurusi kepentingan politik sejumlah oknum-oknum pengurusnya.
Sungguh ironis memang. Atlet dan pelatih cabor di Maluku rutin berlatih di luar Training Camp, tapi tak ada anggaran membiayai kebutuhan seluruh cabor ke Pra PON XXI yang sudah mulai bergulir pada awal Juni 2023.
Tidak mungkin anggaran Pra PON 2023 baru dibahas dan disahkan tahun ini.
Kalaupun anggaran itu dimasukan ke dalam batang tubuh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) maka pembahasan dan penetapannya baru terlaksana pada Oktober 2023, sedangkan Pra PON XXI sudah digelar Juni tahun ini.
Jika dananya ada dalam pos dengan nomenklatur “biaya-biaya lain” yang sifatnya keadaan memaksa (force major) bagaimana pula cara menyiasatinya?.
Tentunya perlu konfirmasi seluruh anggota Komisi IV DPRD Provinsi Maluku yang membidani urusan pendidikan, pemuda dan olahraga mengenai hal ini.
Tapi kok Samson Atapary dan kawan-kawan di Komisi terkait DPRD Provinsi Maluku diam membisu! Anggota dewan yang terhormat jangan hanya berkomentar soal Rp. 4,3 Miliar biaya perjalanan Tim Penggerak (TP) Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Maluku, naiknya angka stunting, dan naiknya angka kemiskinan di bawah pemerintahan Gubernur Murad Ismail “ex officio” Ketua umum KONI Provinsi Maluku.
Wakil rakyat harus berani dan militan bicara soal nasib prestasi olahraga Maluku yang lagi “sakit kritis” dan tinggal menanti waktu kematiannya. Kalau anggaran daerah Maluku kosong dan wakil rakyat membisu, lebih baik kita hidup di Negeri antah berantah alias “Provinsi Mimpi”. (ROS)