Penulis bersama Ustad DR.H.Nazarudin Wasroni MA. Gambar lain Masjid Al-Hijrah, Ohiu, Jln Jenderal Sudirman, Batu Merah, Ambon. Masjid yang baru dibangun di samping jalan raya ini merupakan tempat Ustad Wasroni menjadi imam.
Foto : Mohas Amir / Rakyat Maluku
KEMATIAN itu rahasia Tuhan. Karena namanya rahasia kita tidak tahu kapan waktunya tiba. Dan sebagai manusia kita selalu diberi oleh Tuhan kekuatan agar senantiasa berikhtiar menjemput datangnya takdir bernama kematian.
Sebelum takdir itu tiba kita harus berikhtiar melakukan yang terbaik agar ujung dari kematian nanti berakhir dengan baik.
Ini kutipan yang saya tangkap dari ceramah DR.H.Nazarudin Wasroni MA. Materi ceramah ini terkesan biasa saja. Tapi di sana ada pesan ilmu yang bisa dipetik.
Yang disampaikan itu adalah doktor jebolan Fakultas Syariah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada ujung tauziah Ramadan tentang takdir dan kematian, di Masjid BTN Kanawa, Ambon, (25/3/23).
Bagaimana manusia menjemput takdir itu haruslah diikuti oleh usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Ikhtiar di sini memiliki konotasi untuk selalu berubah. Dari tidak baik menjadi baik. Dari yang sudah baik menjadi lebih baik.
Karena kematian menjadi misteri Tuhan dan tidak satu pun manusia yang bisa memastikan kapan datangnya maka kita sebagai makhluk harus menjemputnya dengan selalu berbuat baik.
Berbuat baik di sini penting sebab ketika datang waktunya kematian maka ujung dari hidup kita akan mendapatkan predikat husnul khatimah (akhir yang baik).
Ia menyampaikan agar setiap usaha atau apapun pekerjaan yang kita lakukan di dunia ini termasuk ibadah puasa harus bermuara kepada peningkatan amal kebajikan yang maksimal.
Sebab pada setiap usaha manusia di dunia ini Tuhan selalu memberikan kita namanya momentum. Manusia sebagai makhluk yang sempurna diberi kebebasan oleh Tuhan. Tapi di tengah kesempurnaan itu sifatnya tidak abadi atau labil.
Allah memberikan kebebasan, tapi tetap ada keterbatasan. Karena keterbatasan ada namanya takdir atau ketetapan Allah.
Karena ada keterbatasan maka manusia harus terus berupaya berubah untuk menjemput takdir melalui apa yang disebut dengan ikhtiar/usaha.
“Untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik Allah selalu memberikan kita peluang. Dan kita sebagai makhluk harus terus mencari yang terbaik. Itulah namanya ikhtiar. Tidak boleh menyerah di tengah ujian dan tantangan,” ujarnya.
Tuhan selalu memberikan kita momentum terbaik. Momentum itu harus dimaknai dengan kebaikan, jika kita tidak mau tergelincir kepada kemudaratan.
Dalam riwayat Allah sudah mengingatkan pentingnya kita menangkap momentum itu. Di surat At-Tin Ayat 4-5 telah ditegaskan:
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”
Merenungkan kematian akan menambah pengetahuan terutama mengenai pemahaman tentang misteri kehidupan. Merenungkan makhluk-Nya berarti juga kita memikirkan kekuasaan Allah yang telah menghidupkan lalu mematikan makhluknya.
Puasa Ramadan di sini tentu menjadi momentum untuk kita maksimalkan sebaik mungkin amal kebaikan sebagai bekal untuk menjemput takdir yang namanya kematian itu. Sebab kita tak bisa pastikan apakah Ramadan tahun depan kita bisa berjumpa seperti ini lagi atau tidak.
Ia menggambarkan tentang umurnya yang kini sudah memasuki usia 73 tahun padahal tahun lalu usianya masih 72 tahun.
Merenungkan tentang umur dan kematian merupakan sebaik-baiknya nasehat. Kita tak tahu apakah tahun depan umur kita ini masih bertambah atau tidak.
“Tidak ada yang menjamin umur kita bertambah. Apakah kita masih bisa bersama Ramadan seperti ini atau tidak. Marilah kita berbuat baik setiap pekerjaan,” ujarnya.
Karena itu ia mengajak raihlah keberkahan Ramadan ini dengan sungguh-sungguh. Perbanyak amal kebaikan, juga menghatamkan Al-Quran dan memperbanyak sadakah.
Ia mengingatkan setiap manusia harus menyiapkan diri menanti datangnya takdir itu. Sebab ketika maut menghampirinya tidak ada yang bisa memajukan atau pun mengundurkannya.
Ini merupakan pelajaran penting mengingatkan kita bahwa waktu kedatangan kematian adalah perkara gaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah.
Setiap manusia memiliki ajal, dan kematian tidak bisa dihindari dan kita tidak ada yang bisa lari darinya.
“Mari kita menjemput takdir kematian yang menjadi rahasia Allah SWT itu dengan terus berbuat kebaikan. Berusaha selalu menjadi yang terbaik dan tidak boleh menyerah,” ujar Imam Masjid Al-Hijrah, Oihu, Batu Merah, Ambon, itu.
Ustad Wasroni bukan orang baru. Beliau sudah lama saya kenal. Saat masih membidani Koran Radar Ambon 2008 lalu, ia termasuk penulis kolom tetap Ramadan.
Gaya tulisannya renyah dan enak dibaca. Disuguhi bahasa-bahasa ilmiah populer diikuti oleh dalil-dalil agama dan kisah-kisah orang-orang saleh yang mudah dipahami.
Jarang kita temukan seorang yang berprofesi sebagai ustad tapi sekaligus sebagai kolumnis. Sayang, belakangan karena kesibukannya kolom khas ustad yang bersuara serak-serak basah itu tak lagi dijumpai.
Kini melalui Kelompok Pengajian Sajadah Fajar Ambon Ustad Wasroni dan beberapa dai muda intens melakukan safari dakwah.
Setiap Minggu subuh mereka mengelilingi dari mesjid ke masjid di Kota Manise bahkan sampai ke Pulau Seram menyebarkan tauziah yang kini sudah memasuki 11 tahun.
Metode dakwah yang dilakukan yakni dengan mendatangi setiap mesjid. Ini sekaligus untuk menjalin tali silaturahmi antarjamaah juga memperkuat ikatan antarimam se-Kota Ambon.
Cita-cita Ustad Wasroni mengimpikan kegiatan dakwah semacam ini sudah lama terpendam. Ia terinspirasi ketika itu salah satu Kontingen MTQ Nasional ke-12 tahun 2012 di Kota Ambon dari Kalimantan Barat yang dipimpin oleh Ustad H.Husni dan rombongan.
Mereka sekitar 30 orang melakukan kunjungan setiap subuh dari mesjid ke mesjid. Dari mereka ini ia terobsesi membuat kelompok pengajian Sajadah Fajar Ambon.
Menurut cerita, di Kalimantan Barat Ustad H.Husni dkk rutin melakukan dakwah semacam ini dan setelah berkembang kelompok pengajian ini diberi nama Sajadah Fajar.
Sejak itu ia pun mengajak teman-teman dan membentuk pengurus kecil dengan Ketua Ustad Alwan, ditemani oleh Ustad Abdul Kadir Cokro, Ustad Husni Ayuba dan Ustad Hamid Purwono.
Sebagai penasehat ia sendiri bersama KH.Ali Fauzi Abdul Djabbar (alm), dan Drs. H. Ahmad Opier (Imam Masjid Al-Kautsar BTN Kanawa).
Semangat dakwah semacam ini bukan fenomena baru di kota ini. Jauh sebelumnya, para ulama dan pemuka agama Kota Ambon juga melakukan hal serupa meski dengan pola berbeda seperti melakukan kajian tafsir dll.
Untuk mengembalikan spirit dakwah semacam itu Sajadah Fajar Ambon mengambil peran mendatangi mesjid-mesjid menyampaikan tauziah setiap subuh di hari Minggu.
Hari Minggu, kemarin, (2/4/23), misalnya. Ia bersama timnya melakukan safari dakwah ke Masjid Al-Kautsar, Waringin Cap, Desa Keranjang, Taeno, Ambon, dan merupakan masjid ke 111 yang didatanginya.
Mereka juga melakukan kegiatan serupa ke sejumlah masjid di Pulau Seram seperti di Gemba dan Waisarisa. “Ini sudah masuk episode dakwah ke 438 dari 111 masjid yang kami datangi,” ujarnya.
Lahir di Tegal, Jawa Tengah, 27 Nopember 1950, Ustad Wasroni sudah menjadi juru dakwah sejak 1972 di Jakarta hingga meraih sarjana di Fakultas Syariah 1976 pada IAIN Syarif Hidayatullah.
Ia memperoleh gelar Doktor 2004 dengan predikat DR (HC) dari Management Global International berbasis di Jakarta.
Lalu gelar MA dari mana?
MA yang menempel di ujung namanya itu ternyata bukan gelar akademik. Selama ini banyak orang salah kaprah kiranya itu gelar pendidikan. Padahal bukan.
Lalu apa?
“MA itu akronim dari nama orang tua saya. Masykur Ali,” ujarnya tertawa.
Setelah dari Jakarta ia hijrah ke Ambon 1999 menjadi dai hingga kini. Selain berdakwah dan menjadi kolumnis, ia juga dosen agama di Poltekkes Ambon.
Ia juga seorang imam di Masjid Al-Hijrah, Jln.Sudirman, Oihu, Batu Merah, Ambon. Masjid megah minimalis yang letaknya di pinggir jalan dan kini memasuki finishing itu sedang menunggu pengresmian.
Tentang safari dakwah ia mengajak siapa saja dai boleh membagi ilmu melalui Sajadah Fajar Ambon yang penting memiliki pengetahuan silakan bergabung.
Yu!! Siapapun kita apapun profesinya selagi masih punya kesempatan dan umur panjang marilah kita selalu berikhtiar untuk menjemput takdir yang namanya kematian itu dengan terus menebar kebaikan untuk kemaslahatan.(***)