Otonomi Kelautan

  • Bagikan

Buku adalah Gizi, maka Kami Peduli.” Ungkapan ini saya kutip dari buku berjudul: “Otonomi Khusus Bidang Kelautan, Suatu Pendekatan Multiaspek Perencanaan, dan Penganggaran Pembangunan di Maluku.” Penulisnya Drs H. Darul Kutni Tuhepaly.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari seorang mantan politisi Maluku, juga mantan wartawan yang terbit 16 tahun lalu. Ketika buku ini ditulis ia kala itu masih menduduki posisi sebagai Ketua Fraksi PPP DPRD Maluku.

Seperti kutipan pada ungkapan di awal tulisan ini, meski sudah lama terbit buku ini boleh dikata tetap “bergizi” di tengah sorotan soal penanganan masalah perikanan dan kelautan di Maluku yang selalu mengalami jalan buntu.

Buku ini juga bisa menjadi salah satu sudut pandang berbeda yang sengaja disorot oleh penulisnya dalam rangka mewujudkan pembangunan wilayah kepulauan Maluku melalui otonomi khusus di bidang kelautan.

Otonomisasi kelautan dalam konteks ini mestinya harus dimaknai sebagai bagian dari upaya menciptakan peluang besar bagi daerah ini untuk mengelola sumber pendapatan dan mengoptimalkan fungsi pembangunan sesuai kemampuan daerah masing-masing terutama dalam pengelolaan kekayaan laut kita.

Problem pembangunan otonomi khusus di bidang kelautan bagi daerah penghasil sumberdaya laut masih menghadapi masalah disparitas atau ketimpangan. Maluku dengan karakteristik kelautan mestinya bisa membawa kemakmuran rakyatnya dengan jumlah penduduk lebih 1,7 juta jiwa itu.

Sayang sampai sejauh ini keberpihakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan kelautan kita masih jauh dari harapan. Masih segar di ingatan kita tentang polemik soal Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang dicanangkan sejak 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berikut Pelabuhan Perikanan Terpadu dan Ambon New Port di era Presiden Joko Widodo seolah mati angin.

Tadinya telah diwacanakan tahun 2023 akan diawali pembangunannya namun memasuki bulan ketiga ini Proyek Strategis Nasional (PSN) itu tak ada harapan.

Sinyal itu sudah terbaca sejak 2022 lalu setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengemukakan alasan pembatalan ketiga proyek prestisius tersebut karena di lokasi tempat proyek yang dibangun di Desa Waai dan Liang terdapat gunung berapi aktif.

Pun di lokasi yang sama terdapat banyak peninggalan bom dan ranjau-ranjau bekas Perang Dunia ke-2. Karena itu gagasan pembatalan yang disampaikan oleh Luhut Panjaitan ini oleh para politisi dianggap sebagai ide gila. Pemerintah pusat dicap setengah hati.

Perjuangan menjadikan Maluku sebagai LIN, Pelabuhan Perikanan Terpadu, dan Ambon New Port bukan hal mudah. Pun persoalan otonomi khusus bidang kelautan di Maluku sebagaimana ditulis dalam buku ini perlu disikapi secara serius. Perlu ada keberanian para pemangku kepentingan di Maluku untuk sama-sama melakukan pressure agar persoalan penanganan otonomi khusus kelautan di Maluku mendapat prioritas.

Buku karya Kutni Tuhepaly ini merupakan bahan studi menarik untuk melihat potensi pemanfaatan sumberdaya kelautan kita seluas 92,6 persen dari daratan itu penting disikapi. Agar potensi kelautan kita tak sepenuhnya dijadikan sebagai bancakan oleh pihak luar atau nelayan asing.

Konsep otonomi bidang kelautan sebagaimana ditulis dalam buku ini bukan suatu sikap antipati terhadap kebijakan pemerintah. Namun hal ini diakui sebagai pilihan alternatif untuk menggugah nurani pemerintah pusat, bahwa masih ada ketimpangan pembangunan nasional selama ini khususnya di bidang perikanan dan kelautan.

Konsep otonomi khusus yang menjadi kajian buku ini tentu didasarkan pada karakteristik Maluku yang kaya akan sumberdaya laut. Namun “keberuntungan” ini tak lepas dari berbagai masalah yang masih menimpa Maluku baik korupsi, konflik lokal, pengangguran, perencanaan pembangunan yang prematur, dan sistem penganggaran yang tak transparan mengakibatkan terjadinya disparitas.

Di halaman 68 buku ini diungkapkan sejak tahun 1966, negara ini diperhadapkan oleh pemerintahan totaliter yang melahirkan sebuah sistem sangat sentralistik. Semua perencanaan harus berasal dari atas. Karena itu kepentingan daerah tak boleh bertentangan pada kepentingan pusat. Kini sistem ini mengalami perubahan.

Desentralisasi sebagai inti dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diamandemen dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi lompatan besar dalam pembenahan sistem pemerintahan. Dengan begitu daerah mendapat kebebasan yang luas untuk mengelola setiap kebijakan yang dihasilkan.

Seiring perombakan fundamental sistem pemerintahan, perencanaan pembangunan daerah juga ikut mengalami perubahan. Kalau dulu perencanaannya lebih bersifat sentralistik sekarang tak lagi.

Problem utama soal otonomi di bidang kelautan sebagaimana ditulis di buku ini ada pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dimana daerah hanya diberi otoritas oleh pusat untuk mengelola laut dari garis pantai hingga 12 mil.

Diluar dari 12 mil adalah kewenangan pemerintah pusat yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Dengan demikian, 50 persen lebih kekayaan laut kita dikelola oleh pemerintah pusat, meski kemudian hasil dari pengelolaan itu dibagi lagi dengan pemerintah daerah.

Dibanding provinsi lain Maluku masih jauh tertinggal. Hampir 90 persen daerah ini terbelakang dan separuh penduduknya miskin tak lepas karena pengelolaan sumberdaya alam terutama laut sangat terbatas karena otoritas pemanfaatan laut sangat terbatas.

Maluku memiliki kekhususan, dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu harus pula dilihat pada kekhususan suatu daerah. Beda pemberlakuan otonomi khusus Papua dan Aceh yang menjadi alasan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 dan 21 adalah persoalan ancaman integrasi bangsa.

Maluku tentu beda. Ia memiliki kekhususan di bidang kelautan yang mesti mendapat pula perlakuan khusus pemanfaatan untuk laut kita. Ini penting agar kekayaan laut benar-benar dinikmati oleh nelayan kita bukan oleh nelayan dari luar Maluku.

Alangkah tak adil bila hanya karena ZEE yang 50 persen dikuasai pusat membuat otoritas kita sebagai provinsi penghasil perikanan dan kelautan tak bisa menjangkau pada zona ZEE. Ini terasa tidak adil.

Otoritas yang terbatas pada pemanfaatan sumberdaya laut ini menyebabkan maraknya pencurian ikan (illegal fishing) yang notabene menjadi kewenangan otoritas pemerintah pusat diluar 12 mil yang menjadi kewenangan pemerintah pusat pada ZEE.

Kasus ini banyak terjadi di depan mata kita tapi karena kita tak memiliki otoritas untuk mengawasi ZEE membuat fungsi kontrol dan pengawasan dari aparat penegak hukum semakin terbatas pula.

Karena itu wajar bila ada wacana pemberlakuan otonomi khusus di bidang kelautan dan perikanan menjadi sebuah keharusan. Sebab jika otonomi khusus kelautan ini diberlakukan bukan tak mungkin pemanfaatan sumberdaya laut di Maluku kian meningkat.

**

Darul Kutni Tuhepaly adalah politisi Ambon lahir di Desa Sirisori Islam, Pulau Saparua, Maluku Tengah, 28 Oktober 1959.

Pengalaman organisasi dimulainya sebagai pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNPATTI Ambon ini, semasa mahasiswa aktif menulis artikel di kampus. Pernah bekerja di media nasional Harian Kompas, Media Indonesia, dan menulis artikel di berbagai media lokal.

Karir politik diawali sebagai Pengurus Wilayah PPP Maluku. Menjadi Ketua Generasi Muda Pembangunan Indonesia. Ketua Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) Maluku. Anggota DPRD Provinsi Maluku Periode 1999-2004, Sekretaris Fraksi PPP DPRD Maluku. Ketua Fraksi PPP DPRD Provinsi Maluku periode 2004-2009.

Saya tadinya membanggakan mantan wartawan Media Indonesia itu karena kesetiaan pada partai berlambang Kakbah itu. Di tengah begitu banyak rekannya memilih hengkang dari PPP sobat saya ini bergeming. Ia tetiap memilih setia pada partai hasil fusi beberapa partai Islam yang dilakukan pada era 1970-an di bawah rezim Soeharto, itu.

Namun setelah 20 tahun berjalan sobat saya ini akhirnya memilih hengkang dan kini bergabung dengan partai baru besutan DR.H. Ahmad Yani, SH, MH, yang juga mantan politisi PPP itu, sebagai Ketua Partai Masyumi Maluku.

Buku karya Kutni Tuhepaly yang juga ikut memberi pengantar Pak Karel Alberth Ralahalu (mantan gubernur Maluku) ini tentu tidak sekadar bergizi, tapi juga mengandung vitamin bagi mereka yang peduli pada masa depan daerahnya.(*)

  • Bagikan