RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku dan PT. Diyan Nugraha Saotanre (DNS) dinilai tidak becus atas pekerjaan dua proyek pembangunan pengendalian sedimen (Check Dam) yang berlokasi di kompleks Gereja Jacobus dan di kompleks Gereja Petra, Dusun Ahuru, Negeri Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, tahun anggaran 2020 sebesar Rp 16 miliar yang bersumber dari APBN.
Penilaian tersebut dilayangkan Moluccas Corruption Watch (MCW) Wilayah Maluku.
Direktur Utama MCW, S. Hamid Fakaubun SH, MH, mengatakan, meski telah selesai proses pekerjaannya di tahun 2021, namun berdasarkan hasil investigasi MCW Wilayah Maluku, diketahui pekerjaan dua proyek untuk mengurangi dampak banjir akibat arus deras di Sungai Batumerah yang pendek itu, terkesan asal jadi dan sarat korupsi.
“Sekilas struktur bangunannya sangat tidak layak. Dinding penahan longsor juga sangat memprihatikan. Sehingga, kami menduga ada unsur korupsi dalam pekerjaan dua proyek milik BWS Maluku yang dikerjakan oleh PT. DNS itu. Proyek ini juga kan kabarnya dalam endusan KPK, ungkapnya, kepada koran ini di Ambon, Selasa, 14 Maret 2023.
Dia menjelaskan, dari hasil investigasi yang dilakukan MCW Wilayah Maluku pada dua proyek Check Dam tersebut, ditemukan banyak kejanggalan lainnya yang dilakukan pihak-pihak terkait yang patut diduga bertanggung jawab, di antaranya satuan kerja (Satker), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan kontraktor.
Pertama, sesuai dengan programnya Flood Management in Selected River Basins (FMSRB), proyek Check Dam Petra dan Jacobus ini tidak menjamin keberlanjutan pasca program. Dimana, aspek operasional pemeliharaan hingga kini belum dilaksanakan, padahal anggaran pemeliharaan dalam setiap program infrastruktur telah disediakan,
Kedua, kata dia, proses perencanaan tidak sesuai dengan pelaksanaan. Tampak melalui bangunan fisik proyek ini dibangun dengan asumsi ‘asal jadi alias ngawur.
“Tambal sulam kerap kita temukan disepanjang bangunan proyek. Padahal anggaran yang telah disediakan untuk proyek ini sekitar Rp 16 milliar, namun angka tersebut tidak sesuai dengan konstruksi,” jelas Hamid.
Ketiga, lanjut Hamid, AMDAL yang katanya telah selesai, namun implementasinya tidak sesuai dengan realita. Hal ini terbukti pasca konstruksi daerah Petra (lokasi proyek) mengalami longsor dan banyak pohon yang tumbang.
“Proyek yang menyampingkan aspek ekologis ini akhirnya membuat masyarakat menjerit. Air yang awalnya bersih sebelum proyek berjalan, kini hanyalah segempalan lumpur bercampuran tanah akibat dari sedimen Check Dam yang terbawah air hingga ke hilir,” bebernya.
Keempat, BWS Wilayah Maluku sebagai owner proyek menunjukan inkonsistensinya sejak awal. Dimana sebelum proyek ini dijalankan, sosialisasi mengenai daerah ini rencananya akan dijadikan sebagai objek wisata baru dengan membangun taman dan tempat santai. Hal ini disampaikan oleh salah satu pihak di BWS Maluku atas nama Jackson Tehupuring.
“Kami MCW Wilayah Maluku pun percaya bahwa rencana objek wisata baru (berbasis lumpur dan tanah) ini telah terealisasi, ternyata itu hanya janji-janji manis mereka saja,” tuturnya.
Kelima, tidak ada program Social Extension Plan (program pemulihan mata pencaharian pada yang terdampak). Padahal, jauh sebelum proyek tersebut dijalankan, banyak kebun masyarakat yang ada di sepanjang lokasi proyek terkena dampak pembebasan lahan.
“Proyek yang kita harapkan dapat memberikan penyelesaian banjir dari hulu hingga ke hilir hanyalah proyek gelap yang kini tidak tau sasarannya kemana. Olehnya itu, kami juga masih mendalami dan membentuk tim investigasi guna menindaklanjuti kejanggalan yang terjadi,” pungkas Hamid.
Hayatudin Tuasikal, salah satu Satker di BWS Maluku, yang dikonfirmasi koran ini via selulernya, mengatakan, pihaknya tidak dapat berbicara via telepon, melainkan harus datang di Kantor BWS Maluku untuk konfirmasi.
“Mohon maaf, kalau mau konfirmasi silakan ke kantor saja. Kita tidak bisa konfirmasi via telepon,” singkatnya, membalas WA. (RIO)