Hindari Benturan

  • Bagikan

Konflik kekerasan seolah belum beranjak dari Maluku. Setelah dari Maluku Tengah, Seram Bagian Barat lalu merembes ke Maluku Tenggara dan kembali lagi ke Maluku Tengah. Terbaru konflik antarkampung merembes lagi di Tulehu disusul Hitu-Wakal, Senin, (27/2/23).

Kita tentu tidak tahu setelah ini konflik kekerasan antarkampung dan antarkelompok akan “berpindah” ke mana lagi — setelah setahun terjadi secara beruntun.

Dan, sejak Januari 2022 kita telah menyaksikan rentetan-rentetan konflik antarkampung dengan beragam varian motif itu.

Itu diawali di Pulau Haruku yang berujung ratusan rumah dibakar — sejak itu konflik kekerasan antarkampung di daedah ini seolah tidak kunjung redup. Bahkan semakin luas.

Pemicunya bisa bermacam-macam. Dari soal batas tanah, mabuk, perkelahian antarpribadi hingga melibatkan kelompok dll.

Ada kecenderungan eskalasi konflik kekerasan antarkampung dengan motif yang sama seolah berkembang dari satu tempat ke tempat lain. Berputar-putar di wilayah tertentu di Maluku saja.

Menjawab pertanyaan terkait fenomena konflik kekerasan antarkampung itu saya mencoba menghubungi akademisi di bidang sosiologi agama pada IAIN Ambon DR. Adam Latuconsina, M.Si, tadi malam.

Ia tidak lain adalah Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga IAIN Ambon.

Doktor yang mengambil studi Islam dalam Bidang Sosiologi Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu kebetulan baru saja kembali dari Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah.

Selama tiga hari ia berada di Masohi bersama 116 orang yang ikut dalam tim Raker IAIN Ambon Tahun 2023 di ibukota berjuluk Pamahanunusa, Jumat 3 Maret 2023, lalu.

Di sana mereka telah memberikan materi terkait pentingnya membangun kohesi sosial dengan semua stakeholder melalui penguatan lembaga-lembaga pendidikan tinggi baik melalui majelis taklim, pengabdian pada masyarakat, dan penguatan moderasi beragama.

Tema Raker IAIN Ambon sejalan dengan visi Pemda Maluku Tengah yang dipimpin Bupati DR. Muhammat Marasabessy, SP, ST, Mtech yakni: Mewujudkan Masyarakat yang Maju, Sejahtera dan Berdedikasi dengan Semangat Hidup Orang Basudara.

Pun sejalan dengan visi Raker IAIN Ambon yang kini dipimpin Rektor Prof.DR. Zainal Abidin Rahawarin, M.Si yakni: Implementasi Tridarma Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Masyarakat yang Maju dan Sejahtera dengan Semangat Hidup Orang Basudara.

Maluku Tengah sebagai kita ketahui termasuk satu di antara kabupaten di Provinsi Maluku yang masyarakatnya di beberapa kampung kerab bersentuhan dengan benturan ditandai oleh konflik kekerasan antarkampung.

Dilihat dari sosiologi keagamaan, kecenderungan konflik kekerasan antarkampung ini memerlukan penanganan serius oleh semua unsur terkait. Diantaranya Pemda, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi. Lembaga-lembaga ini perlu membangun kolaborasi dengan jalan memperkuat kohesi sosial.

“Perlunya kerjasama semua lembaga pendidikan tinggi, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda, majelis taklim dll tentu menjadi sebuah keharusan,” ujar DR.Adam Latuconsina.

Fenomena kekerasan antarkampung yang muncul saat ini motifnya relatif lebih banyak bersentuhan akibat perkelahian antarsaudara tetangga ketimbang soal suku.

Dari studi dan penelitian yang dilakukan, menurut mantan Wadir Program Pascarsarjana IAIN Ambon ini, dalam konflik kekerasan selalu dijumpai nama kampung dibawa-bawa. Padahal boleh jadi masalahnya menyangkut pribadi atau karena mabuk kemudian nama kampung ikut terseret.

Kedepan untuk menghindari benturan antarkelompok dan masyarakat kita perlu memperkuat kohesi sosial dengan jalan membangun kolaborasi atau kerjasama lintas Pemda dengan semua stakeholder tanpa kecuali lembaga-lembaga perguruan tinggi harus intens dilakukan.

Perlunya membangun kohesi sosial di sini menuntut setiap elemen dalam masyarakat harus diberdayakan. Mereka ini harus ikut berperan dan berfungsi secara maksimal dengan memberikan standar norma-norma keagamaan dalam menata kehidupan secara bersama.

Langkah untuk menangkal upaya-upaya provokasi dan menghindari benturan melalui “tangan-tangan tersembunyi” yang boleh jadi berada di balik setiap konflik kekerasan antarkampung itu, menurut DR. Adam Latuconsina, perlu dibangun sebuah kesadaran bersama yakni kemampuan untuk menyatu.

Menghadapi pola pikiran masyarakat yang masih tersegregasi itu dilihat dari aspek sosiologi agama diperlukan membangun penguatan-penguatan di lapis bawah.

Konsep itu, kata DR.Adam Latuconsina, bisa ditempuh baik melalui pendekatan majelis taklim dan pengabdian pada masyarakat. Atau melalui penguatan konsep moderasi beragama. Yakni sebuah prinsip kehidupan yang menjunjung tinggi sikap egalitarisme melalui pola pendekatan agama dilihat dari cara pandang universalisme.

Ini bisa dilakukan melalui kerjasama lembaga-lembaga perguruan tinggi. Proses penguatan tentang pentingnya moderasi beragama harus diberikan kepada para siswa yang duduk di bagku SMA.

Mereka ini generasi milenial sejak dini harus dibekali konsep pendidikan multikulturalisme dan penguatan moderasi beragama di sekolah-sekolah di Maluku. Sebab, mereka inilah kelak menjadi generasi penentu masa depan untuk daerah ini.

Yakni generasi yang tidak lagi terjebak pada segregasi sosial. Generasi yang tidak mudah lagi terseret pada upaya-upaya adudomba melalui tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) baik secara individu ataupun kelompok.

Karena itu agama dalam hal ini, kata DR. Adam Latuconsina, harus diajarkan tidak hanya dilihat dari aspek ritual saja. Tapi diluar itu agama mempunyai dimensi atau nilai-nilai universalisme yakni menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan, kebersamaan, toleransi, dan keterbukaan.

IAIN Ambon sendiri di bawah tanggung jawabnya sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga dalam rangka memperkuat kohesi sosial telah dibangun kerjasama antarperguruan tinggi di Maluku.

Salah satunya yakni Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), dan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon. Melalui lembaga ini ada program kerjasama antardosen dalam memberikan matakuliah tertentu khususnya baik menyangkut mata kuliah Islamologi, dan mata kuliah yang berkaitan dengan multikturalisme.

Ini merupakan bagian penting dari upaya membangun kohesi sosial di bidang pendidikan. Bahkan untuk memperkuat hubungan itu pihaknya telah membangun sebuah konsep pendidikan melalui pendekatan kearifan lokal dengan apa yang disebut “Kampus Pela Gandong”.

Kedepan, untuk meminimalisir benturan terkait konflik kekerasan antarkampung di Maluku yang marak belakangan ini diperlukan kerjasama dan kolaborasi semua pihak tanpa kecuali dengan Pemda untuk terus memperkuat nilai-nilai agama.

Juga dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi harus pula dibangun sebuah kesadaran baru melawan setiap bentuk provokasi dan adudomba di masyarakat.

Untuk menghindari benturan atau konflik kekerasan antarkampung dan kelompok masyarakat di sini diperlukan pula upaya membangun kohesi sosial dengan semua stakeholder. Yakni melalui penguatan lembaga-lembaga pendidikan tinggi, sekolah, majelis taklim, pengabdian pada masyarakat, dan penguatan moderasi beragama.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version