DALAM dunia politik di Maluku — nama H.M.Thahir Saimima, SH, M.Hum sudah tak asing. Mantan politisi itu sebelumnya pernah terjun dalam politik hingga mengantarkannya menempati posisi sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku hingga DPR-RI 1999-2004. Pun dalam dunia hukum namanya sempat harum di pusat setelah ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial 2005-2010.
Putera asal Negeri Sirisori Islam, Pulau Saparua, Provinsi Maluku, yang lahir 20 Juni 1953 itu memiliki jam terbang sebagai politisi nyaris sempurna.
Kariernya itu diawali dari tanah kelahirannya nun di Pulau Saparua hingga ke pusat menempati jabatan strategis di lembaga negara produk reformasi itu — yang secara simbolistik merepresentasikan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Karena itu tidak salah dalam buku biografi H.M. Thahir Saimima berjudul: Putra Negeri Sirisori Islam, Dari Universitas Pattimura untuk Maluku dan Indonesia, seperti yang saya kutip pada halaman pembuka buku itu oleh DR.H.La Ode Ida yang dikenal sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pengantarnya memberi julukan kepada mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini dengan sebutan “mutiara dari timur.”
Buku ini sesungguhnya sudah lama diterbitkan di Jakarta. Tercatat tahun terbit 2010. Mungkin belum banyak yang tahu. Atau boleh jadi saya yang memang terlambat mendapat informasi.
Buku setebal 469 halaman dengan jenis kertas lux ini baru dua pekan lalu saya peroleh dari salah seorang sobat yang juga saudara dekat Pak Thahir Saimima yakni H.Darul Kutni Tuhepaly.
Menyebut nama Pak Thahir Saimima mengingatkan saya ketika ia masih aktif menjadi pengacara di Ambon 30 tahun lalu. Kala itu beberapa kasus besar pernah ditanganinya dan ia menjadi narasumber.
Juga mengingatkan saya beberapa nama koleganya yakni Lutfi Sanaky, M.Djen Abduh, Husen Tuasikal, Munir Kairoti, Noho Loilatu, Nadjib Attamimi, H.Darmin Marasabessy, M.Ridwan Hasan, M.Yunus Hehanussa dll.
Di samping sebagai pengacara, ia juga merangkap sebagai politisi PPP hingga menempati anggota DPRD Maluku dan DPR-RI 1999-2004 lalu kemudian sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial.
Menyebut nama Thahir Saimima tentu tidak lepas dari nama kampungnya Negeri Sirisori Islam. Sebuah negeri yang berada di antara beberapa kampung yang terletak di Pulau Saparua itu.
Pulau Saparua sesungguhnya pulau yang diberkati Tuhan karena dari pulau ini lahir putra-putra terbaik bangsa yang banyak melahirkan “mutiara” dari sana.
Untuk menyebut beberapa nama tokoh selain Pak Thahir Saimima kita juga mengenal Ir. Martinus Putuhena, Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Syahrir I dan Kabinet Syahrir II.
Juga terdapat nama Mohammad Padang, Gubernur Maluku 1959-1965. Ada pula Prof.Dr.G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan pada Kabinet Ampera I dan Kabinet Pembangunan I dan II era Orde Baru.
Juga H.M.Amin Holle, Ketua NU Wilayah Maluku 1965-1971, anggota DPRGR/MPRS 1966-1972 dan anggota MPR RI 1972-1992.
Pun Prof. Dr.JE.Sahetapy, S.H, dosen dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, anggota DPR 1999-2004 dan Ketua Komisi Hukum Nasional 2000.
Selain itu ada nama Abdul Azis Imran Pattisahusiwa, SH, Ketua Parmusi Wilayah Maluku 1969-1973, Ketua PPP Wilayah Maluku 1973-1997, Wakil Ketua DPRD Propinsi Maluku 1971-1997, anggota DPR 1997-1999 dan anggota MPR 1999- 2004.
Juga terdapat nama M.Said Tuhuleley, Cendekiawan Muslim dan tokoh PP Muhammadiyah. Nama Said Tuhuleley diabadikan sebagai nama kapal “Klinik Apung Said Tuhuleley” yang diresmikan Presiden Joko Widodo, pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ambon, Februari 2017, itu.
Dari membaca buku ini terkesan sosok Thahir Saimima merupakan seorang yang memiliki prinsip yang kuat. Sosok yang merdeka.
Kariernya mulai dari pengacara, lalu bekerja di Bank Indonesia dan juga menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Maluku yang ditempatkan di Kotamadya Ambon.
Tapi tak lama menjadi pegawai bank ia pun memilih berhenti. Juga sebagai PNS belakangan ia tinggalkan.
Padahal gajinya sebagai pegawai bank kala itu tergolong besar Rp.100.000/bulan. Sebuah angka yang cukup fantastis bila dibandingkan dengan gaji seorang PNS Golongan III/A yang baru diangkat hanya sebesar Rp. 30.000.
Selama berkarier sebagai PNS ia memang merangkap sebagai pengacara. Karena saat itu memang belum ada larangan PNS untuk beracara di pengadilan.
Belakangan semua itu ia tinggalkan dan lebih memilih fokus menjadi konsultan hukum. Jauh sebelum keputusan untuk berhenti sebagai PNS ia memang pernah “terlibat” adu argumentasi dengan Walikota Ambon Dicky Wattimena gara-gara tidak masuk kantor karena hujan.
Peristiwa itu terjadi Februari 1986 ketika hujan lebat menyebabkan banyak pegawai kantor walikotamadya Ambon tidak masuk kantor. Keesokan harinya saat apel pagi di aula kantor, pegawai yang tidak masuk kantor sehari sebelumnya disuruh berdiri satu barisan. Di dalamnya ada dua orang pejabat golongan III/b termasuk dirinya.
Walikota Ambon Dicky Wattimena, seorang anggota TNI AD, setelah memberikan pengarahan kemudian menghampiri barisan. Saat tiba giliran walikota Wattimena kemudian menanyakan satu demi satu alasan ketidakhadirannya.
Atas pertanyaan walikota, Pak Thahir Saimima menjawab bahwa karena hujan lebat dan tidak ada kendaraan. Jawaban itu dibalas walikota secara spontan kepada dirinya. “Saudara digaji negara, kalau saudara tidak sanggup bekerja lebih baik saudara berhenti,” ujar walikota Wattimena sebagaimana dikutip di halaman 87 buku itu.
Secara spontan ia pun menjawab: “Hari ini juga saya berhenti,” ujar Pak Thahir Saimima.
Sebenarnya, niat untuk berhenti sebagai PNS beberapa bulan sebelumnya sudah ia rencanakan. Hanya saja gara-gara pertanyaan walikota Dicky Wattimena membuat tekad untuk berhenti dari PNS semakin kukuh.
Setelah selesai apel, ia pun langsung membuat surat pengunduran diri terhitung sejak tanggal 27 Januari 1986 dengan tembusan kepada walikota Ambon.
Selama bekerja sebagai PNS ia mengaku mengalami tekanan batin terutama berkaitan dengan diharuskannya PNS menjadi anggota Golongan Karya (Golkar), padahal sejak mahasiswa ia adalah simpatisan dari PPP.
Pada Pemilu 1971 saat masih duduk di bangku SMEA Negeri Saparua ia sudah menjadi juru kampanye Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di Kecamatan Saparua. Hal ini pula membuat ia berencana untuk berhenti sebagai PNS agar dapat fokus sebagai penasihat hukum dan politisi.
Sejak itu ia pun aktif dalam dunia politik secara berjenjang dari DPRD Provinsi Maluku hingga sampai menjadi anggota DPR RI.
Dalam karier politik, Pak Thahir Saimima di mata koleganya La Ode Ida mengakui pada tingkat tertentu banyak memiliki persamaan. Sama-sama dari kampung, menapaki karier dari bawah hingga menempati posisi pada jabatan strategis di lembaga negara.
Itulah membuat pengalaman hidup Pak Thahir Saimima oleh La Ode Ida sungguh mengesankan adanya variasi pengalaman yang menarik, bergerak dari suatu bidang ke bidang yang lain.
“Ia merupakan bagian mutiara dari timur Indonesia yang kebetulan karena upaya dan kapasitas pribadinya, bisa muncul dan eksis hingga di panggung perpolitikan nasional,” ujarnya.
Buku ini juga memuat beberapa tanggapan baik dari guru besar Fakultas Hukum Unpatti, politisi dan birokrat.
Di kolom komentarnya pakar hukum UNPATTI Ambon M.A.H. Tahapary, SH, MH, yang juga dikenal sebagai dosen pembimbing skripsinya itu menilai Pak Thahir adalah sosok yang vokal pada masa kuliah.
“Keberaniannya didukung oleh daya kritis yang sangat menonjol serta aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler. Tidak seperti mahasiswa lain yang hanya kuliah saja. Hal itulah yang menjadi bekal baik buat dia pada saat ini,” ujar M.A.H. Tahapary.
Ia pun teringat skripsi Pak Thahir Saimina yang menguraikan tentang sistem peradilan berdasarkan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang mengupas independensi Mahkamah Agung.
Sebab saat itu hakim berada di bawah dua kepemimpinan negara yaitu urusan organisasi, administrasi dan keuangan diurus oleh eksekutif melalui Departemen Kehakiman, sekarang Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan urusan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung.
“Dengan kata lain perut hakim ada di eksekutif sedangkan kepala hakim di Mahkamah Agung. Dengan demikian kemungkinan tegaknya independensi sistem peradilan sangat sulit karena ada intervensi pemerintah,” ujarnya.
Dalam melihat masalah independensi peradilan ada perbedaan antara M.A.H.Tahapary dengan Pak Thahir Saimima. Thahir Saimima menginginkan peradilan berada dalam satu atap yang tidak terpengaruh apapun, termasuk pengaruh pemerintah. Melalui sistem tersebut maka peradilan bebas dan berdiri dalam tatanan kelembagaan yang independen.
“Sedangkan saya melihat tidak perlu memisahkan lembaga peradilan sebagaimana yang masih berjalan pada saat itu. Meskipun demikian, pemikiran saya dan Thahir sama yaitu menjunjung tinggi independensi lembaga peradilan,” ujar M.A.H. Tahapary yang juga dikenal mantan Ketua PWI Maluku, itu.
Dan, terbukti kemudian pendirian Pak Thahir Saimima yang dibangun berdasarkan rasionalitas dan pemikiran yang matang itu kini sudah menjadi kenyataan bahwa sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Ini menunjukkan pandangan Dr La Ode Ida soal sosok Pak Thahir Saimima sebagai “mutiara dari timur” tidaklah keliru. Terutama dalam hal pandangannya soal independensi peradilan sebagaimana yang dipuji M.A.H.Tahapary terhadap mantan mahasiswanya itu sangatlah futuristik. (***)