“Dia merasa kegamangan politik itu pada ketakutan. Secara sosiologi politik, kalau dia kehilangan kekuasaan maka menjadi suatu tekanan dan rasa tidak aman. Padahal sesungguhnya konstalasi politik itu ada saatnya seseorang itu dipromosi, dan ada saatnya dia tidak di promosi alias melepaskan jabatannya karena tidak ada jabatan yang kekal. Jabatan itu sementara sesuai SK.”
RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Praktek politik dinasti kian marak dipertontonkan oleh sejumlah elit politik di Maluku, sebut saja di dua kabupaten, yakni Maluku Tengah dan Pulau Buru.
Bahkan, menjelang tahun politik 2024 para elit mulai memunculkan satu demi satu sosok keluarga atau kerabat dekat mereka yang digadang akan bertarung pada Pileg dan Pilkada serentak nanti.
Akademisi Sosiologi Politik asal Universitas Pattimura, Poly Koritelu pun buka suara perihal hal ini.
Dia mengatakan bahwa praktek politik dinasti merupakan gambaran dari peradaban yang lemah. “Jelas secara politik hak ini menjadi satu fenomena yang agak unik, spesifik memperlihatkan kadar demokrasi kita yang belum ada pada titik ideal untuk menjawab ekspektasi masyarakat, harus diakui kalau kadar politik kita masih jauh dari apa yang diharapkan,” ujar Poly saat dikonfirmasi media ini via seluler, kemarin.
Dijelaskan, proses dinasti politik menjadi sesuatu yang trend di Maluku, karena kegamangan politik itu masih menjadi sesuatu ilham yang biasa.
Contohnya 10 tahun aktor itu menjadi bupati, 10 tahun menjadi gubernur dan sepertinya belum cukup bagi dia.
“Dia merasa kegamangan politik itu pada ketakutan. Secara sosiologi politik, kalau dia kehilangan kekuasaan maka menjadi suatu tekanan dan rasa tidak aman. Padahal sesungguhnya konstalasi politik itu ada saatnya seseorang itu dipromosi, dan ada saatnya dia tidak di promosi alias melepaskan jabatannya karena tidak ada jabatan yang kekal. Jabatan itu sementara sesuai SK,” jelas dia.
Sehingga menurut Poly, gairah politik itu mendasari sang aktor merasa jauh lebih aman dan punya masa depan apabila dilingkari oleh orang-orang dekat, kerabat secara sosial untuk mengamankan posisi dia di jabatan pemerintahan.
“Nah ini pertanda bahwa sebenarnya ada ketakutan tertentu dari psikologinya. Dalam konteks yang lebih besar, saya melihat dalam kontek Maluku, di dalam persaudaraan kita dalam budaya pela-gandong kita, ale rasa beta rasa, lain malu hati lain dikalahkan oleh satu kegamangan politik. Itulah sebabnya setelah suami istri, kemudian anak, ipar, hingga menantu kemudian diusung untuk bertarung berebut kekuasaan,” cetusnya.
Hal yang kedua sambung dia, menjadi kebiasaan ketika orang memperoleh kekuasaan kemudian dipakai sebagai kekuatan untuk tidak melayani.
“Karena kalau seseorang merasa melayani pasti ada saatnya dia berhenti tapi karena falsafah kepemimpinan untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan serta leluasa bertindak atas nama jabatan untuk kepentingan apapun, mereka tidak mau kehilangan otoritas dan kewibaan itu,” tandas dia.
Sebab itulah, Poly menyesalkan embrio dari dinasti politik ini menghadirkan kualitas peradaban politik yang belum ideal, kendati kecerdasan politik itu ada pada tingkat kecerdasan basis pemilih.
“Kalau orang mengatakan basis pemilih kita 100 persen rasional, menurut saya belum. Karena sebetulnya hati mereka menolak politik identitas itu tapi mereka terpaksa harus memilih. Iu berarti pada tingkat tertentu secara komprehensif dalam perspektif sosiologi politik harus dilihat sebagai rendahnya peradaban politik kita,” sesalnya.
Ditanya terkait kebijakan publik nantinya, Poly menjelaskan bahwa orang yang gamang kekuasaan itu akan diperhitungkan seberapa besar keuntungan dari sebuah kekuatan politik yang dimiliki.
“Pertama keuntungan itu akan melingkari zona-zona kenyamanan, yang akan diperkuat dengan satu kebijakan publik. Misalnya kebijakan yang dibuat untuk mengalokasikan anggaran untuk pembangunan sebuah ruas jalan dari satu desa ke desa lain dia akan memperhitungkan secara dramatis berapa persen yang dia ambil,” jawabnya.
Ditanya lagi terkait kebijakan publik nantinya, Poly menjelaskan bahwa orang yang gamang kekuasaan itu akan diperhitungkan seberapa besar keuntungan dari sebuah kekuatan politik yang dimiliki.
Ditegaskan, aktor tersebut akan mengatakan bahwa pembangunan fisik yang dilakukan dibuat karena jasa dirinya dan sebagainya.
”Nah manifestasi penerapan kebijakan seperti itu sebetulnya selain dia membangun citra tapi memperlihatkan bahwa apapun yang dia lakukan demi berada di zona aman.
Jadi garansi atau implementasinya adalah keamanan diri. Tujuannya untuk keberlanjutan kekuasaan dengan model dinasti itu. Model penerapan kebijakan publik pada saat dia ada pada struktur kekuasaan yang formal tentu akan menguntungkan diri, Karena itu saya katakan para penguasa akan leluasa memainkan peran demi kepentingan mereka dan hak rakyat di politisasi terus menerus,” demikian Koritelu. (SSL)