RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID, AMBON, — Kimdavits B. Markus, tersangka penganiyaan Philipus Augustin, akhirnya ditangkap secara paksa. Sebab, Kim Markus dinilai tak kooperatif saat dipanggil untuk diperiksa Kamis, 2 Februari 2023, pekan lalu.
Tidak hanya mantan anggota DPRD Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) ini saja, tapi dua rekannya, Herman Saknowishy, dan Harun Lerrick, juga ditangkap. Ketiganya diringkus di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Minggu, 5 Februari 2023 sekira pukul 23.00 WIT.
Laporan yang diterima rakyatmaluku.fajar.co.id, menyebutkan, usai mendengar kabar ditetapkan sebagai tersangka, Kim Markus dan dua rekannya itu bersembunyi di Suli, Kota Ambon.
Mereka berencana kabur. Apes, belum sempat kabur aparat kepolisian sudah berada di lokasi persembunyian dan langsung memborgol mereka.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Maluku Kombes Pol Andri Iskandar menjelaskan, penangkapan paksa karena saat diperiksa sebagai saksi pada Kamis, 2 Februri, Kim Markus tidak datang. Karena tidak memenuhi panggilan penyidik Polres MBD, sehingga menjadi bekal bagi mereka menangkap secara paksa tersangka.
“Polres MBD sudah melakukan pemeriksaan, sudah memanggil yang bersangkutan sebagai saksi pada Kamis, tapi tidak datang, tidak kooperetatif. Karena kekawatiran itu sehingga dia ditangkap secara paksa,” kata Kombes Andri kepada Rakyat Maluku di ruang kerjanya, Senin, 6 Februari 2023.
Penetapan tersangka, lanjut Kombes Andri, dilakukan tanggal 3 Februari 2023, melalui gelar perkara. Namun, tak kooperatif sehingga penyidik Polres MBD, dibackup Polda Maluku, menangkap paksa Kim Markus Cs.
“Penangkapan itu situasional. Polres MBD dibackup Polda Maluku. Bisa ditahan, tapi keputusannya juga kan ada di penyidik Polres MBD tentunya nanti atas petunjuk dari Kapolres,” tandasnya.
Terpisah, ahli hukum pidana Evandro Wattimury, SH. MH mengatakan, penangkapan paksa yang dilakukan polisi sudah tepat. Sebab, KUHAP mengatur persoalan ini.
“Salah satu dari kewenangan yang diberikan dalam KUHAP adalah melakukan upaya paksa yang meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat,” kata akademisi Universitas Kristen Indonesia Maluku ini, lewat rilisnya.
Lanjut Wattimury, dia meyakini bahwa sekelas penyidik Polda Maluku yang membackup Polres MBD, pasti sudah mengetahui bahwa tahapan perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sebagaimana Pasal 17 KUHAP.
“Ada 2 alat bukti yang diatur di dalam 184 KUHAP (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014), Jika disangkakan 170 KUHP, maka bukti visum et Repertum, dan 2 orang saksi saja, sudah cukup itu untuk melakukan penangkapan dan penahanan. Soal pemakaian borgol dan di tempatkan dalam mobil terali, itu protap, emangnya kalian pernah lihat ada tersangka yang tidak diborgol,” tanya dia.
Dia menambahkan, tentunya penangkapan tidak boleh sewenang-wenang. Sebab, berdasarkan Pasal 18 KUHAP yang mengatur pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan,” jelasnya.
Tambah Wattimury, setalah tahapan ini, tersangka, maka akan dilakukan Tahap I dan Tahap II oleh penyidik untuk melimpahkan BAP dan para tersangka kepada Jaksa Penuntut Umum yang kemudian didaftarkan pada Pengadilan. “Tidak ada yang kebal hukum, dan negara harus berpihak pada orang kecil. Jadi jangan kita main hakim sendiri dalam penyelesaian masalah,” tutupnya. (AAN)