Padatnya arus kendaraan dan mobilitas masyarakat di Kota Ambon sempat membuat Konjen AS di Surabaya Kristen F Bauer kagum.
Aktivitas kehidupan masyarakat yang terlihat begitu dinamis sepanjang perjalanan dari Bandara Pattimura ke pusat kota membuat seorang Konsul Kristen Bauer bertanya-tanya dalam dirinya.
Saya yang hari itu bertemu dengan mantan Diplomat di Norwegia itu sempat mencatat alasan keingintahuan Diplomat Kristen Bauer atas kemajuan kota ini pasca konflik, Kamis, (23/2/12).
Ia mengaku tak tahu, apakah tingginya kepadatan arus lalulintas dan mobilitas warga di jalan dan pasar hingga menimbulkan macet dimana-mana itu membuktikan bahwa tingkat kemakmuran masyarakat Kota Ambon sudah membaik? Entalah.
Walau demikian, ia yakin seperti biasanya jika terjadi kepadatan arus lalulintas serta tingginya mobilitas masyarakat selamanya membuktikan tingkat kemakmuran masyarakat cenderung membaik. Ia pun berharap kondisi tersebut benar-benar bisa menjadi kenyataan.
Duduk di sebelah kanan saya hari itu yakni salah satu staf Konjen AS bernama A.Cholis Hamzah, MSc.
Untuk beberapa kali kunjungan, jebolan Universitas Airlangga Surabaya dan University of London Inggris ini selalu menjadi teman diskusi saya — setiap kali kedatangannya mendampingi staf dan pejabat AS ke kota ini.
Tidak saja soal keamanan, transparansi birokrasi di pemerintahan, sosial, ekonomi dan hubungan antaragama selalu menjadi tema diskusi.
Pun soal tingginya mobilitas masyarakat Kota Ambon diikuti fenomena munculnya apa yang disebut oleh McKinsey dengan the new consuming atau orang kaya baru, juga menjadi topik pembicaraan.
Siapakah yang dimaksud the new consuming class oleh McKinsey itu?
Mereka adalah masyarakat yang karena meningkatnya pendapatan mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan diluar kebutuhan dasarnya seperti makan.
Kelompok kelas orang kaya baru ini mampu melakukan perjalanan keluar daerahnya bahkan ke luar negeri.
Ciri-ciri lain masyarakat yang pendapatannya meningkat tersebut adalah menginginkan apapun yang memiliki kualitas baik (karena mereka sanggup membelinya).
Ingin pendidikan anaknya bagus, menginginkan makanan yang sehat, menginginkan liburan ke luar daerahnya, bahkan ke luar negeri, menginginkan kantor-kantor pelayanan publik tidak ada antrian panjang dan sebagainya.
McKinsey pernah mengungkapkan hasil penelitiannya tentang fenomena the new consuming class itu di Indonesia.
Dari hasil penelitiannya ia menyimpulkan bahwa pada tahun 2010 sudah ada 45 juta orang kaya baru dan akan naik menjadi 85 juta pada tahun 2020.
Lalu meningkat lagi menjadi 170 juta pada tahun 2030 dimana pada saat itu jumlah penduduk Indonesia mencapai 280 juta orang. Itu artinya ada separuh lebih dari total penduduk Indonesia adalah orang kaya baru.
Penelitian McKinsey ini tentu jauh sebelum Covid-19 menyerang dunia. Boleh jadi, tesis McKinsey ini tidak lagi memiliki akurasi saat mana semua sektor ekonomi tanpa kecuali dunia penerbangan mengalami keterpurukan setelah lebih dua tahun dihajar virus corona.
Lalu seperti apa ciri mereka yang dikatakan the new consuming oleh McKinsey itu?
Menurut Cholish Hamzah boleh jadi adalah mereka yang selama ini dikenal sebagai pekerja di sektor non formal.
Jangan kaget kalau kita berada di bandara di manapun di nusantara banyak orang yang sepertinya “tidak mampu” naik pesawat karena pakaiannya seadanya dengan pakai sandal japit, penjual bakso atau penjual soto dan sebagainya.
“Mereka ini naik pesawat kalau pulang ke daerahnya. Mereka itulah termasuk dalam kategori the new consuming class tadi,” ujarnya.
Dari catatan yang didapat tingkat pertumbuhan penumpang pesawat dan kargo di bandara Pattimura Ambon pada 2015 lalu pernah mengalami peningkatan pertumbuhan signifikan.
Menurut General Manajer PT. Angkasa Pura I Marpin Butar-Butar, kala itu terjadi lonjakan pertumbuhan signifikan baik penumpang maupun cargo di bandara Pattimura.
Kenaikan itu naik rata-rata 7% setiap tahun. Sementara jumlah penumpang mencapai rata-rata 3,500-4,000 per hari. “Ini sangat mengagumkan,” ujarnya.
Tidak saja di Ambon. Di beberapa tempat di bandara di Indonesia ternyata juga mengalami hal serupa.
Di Bandara Juanda Surabaya, misalnya. Pada tahun 2008 jumlah penumpangnya 6 juta orang dan pada 2015 meningkat hampir 15 juta orang per tahun.
Sedangkan di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta meningkat dari 25 juta menjadi hampir dua kali lipatnya.
Mereka inilah seperti dalam analisis McKinsey termasuk dalam kategori the new consuming class tadi.
Kedepan, mengutip Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku yang mencapai 6,01 persen di tahun 2022 (yoy), dibandingkan tahun 2021 yang hanya sebesar 4,85 persen — kita berharap akan semakin tumbuh fenomena the new consuming class baik di desa maupun perkotaan di Maluku seperti yang disebutkan McKinsey itu.
Sebagaimana harapan Kristen F Bauer — kita semua pun tentu punya kewajiban yang sama memelihara dan menjaga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tanpa mengabaikan menjaga ketahanan masyarakat di Maluku agar iklim usaha tetap berkembang dan membuat semakin tumbuh fenomena the new consuming itu.
Karena itu menghadapi gejala sosial seperti masalah konflik batas tanah, perebutan lahan pertambangan ataupun konflik-konflik kepentingan elite politik lokal dan nasional menjelang Pilpres, Pileg, Pilkada dan Pilgub 2024 mendatang sedini mungkin haruslah kita hindari.
Untuk tetap mempertahankan iklim usaha menjadi hidup di tengah tumbuhnya the new consuming di Maluku itu tidak ada cara lain kita harus menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang harmonis. Yakni dengan tetap bersikap waspada sebab masih banyak potensi lokal yang kerap bisa mengundang pertentangan dan konflik kepentingan baik bisnis ataupun politik kekuasaan di masyarakat.(***)