RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku hingga saat ini belum melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan DPRD Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) dalam perkara dugaan korupsi penyalahgunaan Tunjangan Belanja Rumah Tangga (TBRT) tahun anggaran 2020-2021, dan pimpinan DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dalam perkara dugaan korupsi uang makan minum tahun anggaran 2021.
Pimpinan DPRD SBT itu yakni, Noaf Rumau selaku ketua dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Agil Rumakat selaku wakil ketua I dari Partai Golkar, dan Ahmad Voth selaku wakil ketua II Partai Gerindra. Dan pimpinan DPRD SBB yakni, Abdul Rasyid Lisaholit selaku ketua dari Partai Hanura, Arifin Pondlan Grisya selaku wakil ketua I dari Partai NasDem, dan La Nyong selaku wakil ketua II dari PDI Perjuangan.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Maluku, Wahyudi Kareba, mengatakan, belum dipanggilnya para pimpinan DPRD lantaran penyelidik masih melakukan pendalaman terhadap pelaporan masyarakat untuk dua kasus tersebut.
“Kasusnya kan masih didalami, jadi bukan mereka (pimpinan DPRD) tidak dipanggil untuk diminta keterangannya, tapi masih menunggu hasil pendalaman kasusnya dulu. Kalau sudah waktunya pasti akan dipanggil,” kata Wahyudi, ketika dikonfirmasi koran ini via seluler, Minggu, 29 Januari 2023.
Dia menjelaskan, khusus untuk kasus DPRD SBB, sebanyak delapan orang telah dipanggil untuk diminta keterangan.
Di antaranya, dua orang staf Sekretariat DPRD yakni kepala bidang (Kabid) Penganggaran dan Pengawasan dan Kabid Perencanaan dan Anggaran.
“Dan enam orang ASN di lingkup pemerintah kabupaten, yakni kepala BPKAD tahun 2020, kepala BKAD tahun 2021, Kabag Umum Setda tahun 2020, Kabag Umum Setda tahun 2021, Kuasa Bendahara Umum Daerah dan Bendahara Pengeluaran,” jelas Wahyudi.
Menanggapi hal itu, Pengamatan Hukum, Marnex Salmon, SH, menilai progres penanganan dua kasus tersebut ibarat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pasalnya, para pimpinan DPRD SBT maupun SBB itu berstatus terlapor yang seharusnya sudah dipanggil Kejaksaan untuk diminta keterangan terkait laporan masyarakat.
“Progres penegakkan hukum seperti ini harus dipertanyakan, kenapa para elit politik pimpinan DPRD itu belum juga dipanggil jaksa untuk diminta keterangannya, padahal mereka adalah terlapor. Saya harap hukum tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, karena semua sama dihadapan hukum,” cetusnya.
Marnex mengakui bahwa awal penanganan kasus pasti dilakukan proses pendalaman oleh aparat penegak hukum terhadap laporan masyarakat atau temuan mereka di lapangan. Namun, proses pendalaman kasus yang berlarut-larut hingga memakan waktu yang cukup lama, merupakan bentuk kinerja aparat penegak hukum yang tidak profesional.
“Kira-kira proses pendalaman satu kasus itu harus makan waktu berapa lama, tiga bulan kah, enam bulan kah, atau satu tahun? Bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga ada progres selanjutnya untuk mengungkap ada tidaknya suatu peristiwa pidananya. Dan kalau tidak ada peristiwa pidananya, jangan dipaksakan, tutup kasusnya,” tegasnya.
Untuk diketahui, tiga pimpinan DPRD SBB yang dilaporkan atas dugaan korupsi uang makan dan minum tahun 2021 diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 595 juta dari total anggaran Rp 1,6 miliar. Sedangkan tiga pimpinan DPRD SBT yang dilaporkan atas dugaan korupsi TBRT tahun 2020-2021 diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.285.200.000. (RIO)