RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID.- AMBON,- Rencana Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) memulangkan pengungsi Kariu ke negeri asalnya pada pertengahan Desember 2022 mendatang tanpa melihat situasi menuai protes.
Sejumlah pihak, terutama dari tokoh pemuda Negeri Pelauw menanggapi kondisi ini dengan serius. Mereka meminta Pemda mempertimbangka secara lebih matang, karena upaya paksa mengembalikan para pengungsi ke hunian lama di Kariu itu dinilai cukup beresiko.
Seperti disampaikan tokoh masyarakat Negeri Pelauw, Djamal Nur Tualeka kepada awak media di Ambon, Selasa 15 November 2022.
“Ini harus dipertimbangkan secara matang, ditetapkan waktunya secara baik, sehingga ketika mereka dipulangkan itu tidak ada resistensi di tengah-tengah masyarakat, baik itu masyarakat Pelauw, masyarakat Ory, maupun dengan masyarakat Kariu yang akan pulang ke kampungnya,“ ungkap Tualeka.
Menurutnya, masyarakat Negeri Pelauw akan menerima keputusan pemerintah daerah dalam upaya mengembalikan para pengungsi Kariu ke tempat asalnya. Bila syarat tuntutan yang disampaikan pada rekonsiliasi yang dimediasi oleh Forkopimda Provinsi Maluku beberapa bulan lalu harus segera direspon.
Hanya saja sejauh ini, kata dia, upaya rekonsiliasi konflik Pelauw dan Kariu menemui jalan buntu lantaran Pemda dan pihak terkait belum juga berhasil menunjukan keseriusan untuk merealisasi tuntutan warga itu.
Pasalnya, dengan tidak terpenuhinya syarat sebagai pernyataan sikap warga Pelauw yang disampaikan pada saat rekonsiliasi, upaya pemulangan para pengungsi Kariu ke negerinya akan menjadi sulit dan resisten.
“Kenapa kami harus mengatakan demikian, karena sudah 13 kali pertemuan dengan Forkopimda dan stakeholder lainnya kami rutin menyuarakan pernyataan sikap kami, setiap kali pertemuan kami tidak perna lari dari pada kesepakatan, sehingga kalau mau memulangkan secara paksa kemudian mengabaikan tuntutan-tuntutan sikap ini, maka itu akan menimbulkan resistensi, dan gesekan yang lebih hebat lagi dari waktu-waku sebelumnya,” ingatnya.
Mantan Ketua KNPI Malteng ini menyarankan agar Pemda dan pihak terkait bila benar-benar serius melaksanakan rekonsiliasi harus terjun langsung ke bawah tinjau lokasi dan lakukan observasi lapangan, sebab selama ini upaya rekonsiliasi yang dibangun oleh pemerintah hanya menyentuh kaum elit namun tidak menjamah akar rumput.
Ia juga menekankan kepada pemerintah agar segera merespon dan merealisasikan tuntutan warga Pelauw, karena hanya dengan itu rekonsiliasi menuju jalan damai akan terbuka. Bila tidak kata dia upaya pemulangan paksa justru akan menimbulkan resistensi dan pemerintah akan bertanggung jawab bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Kami terus mempertanyakan sejauh mana Pemda dan Forkopimda Maluku meresponi hal ini, soal pemulangan secara paksa itu bukan tanggungjawab kami itu tanggung jawab pemerintah, dan jika terjadi sesuatu hal di lapangan maka itu bukan tanggungjawab kami, tapi itu tanggungjawab pemerintah, yang memang sengaja memaksakan pemulangan dengan mengabaikan tuntutan masyarakat,” tegasnya.
Ia mengingatkan pemerintah bahwa kondisi Maluku dalam situasi keamanan belakangan ini menunjukan eskalasi konflik yang tinggi sehingga langkah yang diambil harus dengan pertimbangan matang.
“Jangan lagi menambah beban aparat untuk konsentrasi masalah Pelauw-Kariu. Biarlah perdamaian ini terjadi secara alamiah tanpa harus dikondisikan atau dipaksakan.. pemerintah silahkan memperhatikan pengungsi Kariu yang ada di Aboru, “ ingatnya.
Minta Kariu Direlokasi
Sementara itu, pengacara muda dari Pelauw Ajis Talaohu justru menawarkan usulan penyelesaian menuju perdamaian yang abadi. Ia mengatakan justru pertemuan yang diinisiasi pemerintah mestinya dapat membuka cakrawala, menambah referensi para pihak yang sedang terlibat menyelesaikan konflik antar dua desa.
Perlu dilihat dengan terbuka, misalnya bagaimana sikap Pelauw pasca konflik 1999. Dari semua negeri yang bertikai, hanya mungkin Kariu yang diterima pulang sementara desa-desa atau negeri-negeri yang lain sampai hari ini tidak bisa kembali ke negeri asalnya.
Disitu dapat dilihat bagaimana komitmen perdamaian yang masyarakat Pelauw wujudkan dan tunjukan untuk Maluku. itu artinya jika ada yang menilai masyarakat Pelauwintoleran sangatlah jauh dan sangat tidak berdasar.
Ini penting sehingga bila ada tawaran relokasi dengan berbagai pertimbangan menjadi relevan ketimbang memulangkan warga Kariu karena beberapa faktor yang penting untuk juga krusial.
Mengembalikan Kariu tempat hunian lama juga tak serta merta menyelesaikan masalah. Paling-paling hanya pemerintah atau sejumlah politisi yang menuai pujian, dan menambah insentif electoral jika mereka mau ikut dalam pemilu nanti.
Setelah itu? Kedua negeri akan ada dalam ketegangan. Bukan hanya dihantui rasa takut karena tidak ada jaminan rasa aman buat kedua bela pihak untuk jangka waktu yang lama, tapi lebih dari itu konflik sewaktu-waktu atau kapan saja akan pecah.
Mesti ada satu solusi yang memadai. Relokasi bisa menjadi pilihan atau alternatif penyelesaian masalah, dengan pertimbangan dengan relokasi warga Kariu akan memiliki lahan yang luas baik itu untuk hunian juga pertanian.
Sebab di lokasi lama yang mereka tinggalkan, selain tanah yang terbatas untuk tempat tinggal, warga Kariu juga tak punya lahan untuk digarap sebagai lahan pertanian atau perkebunan.
Selain itu kemungkinan terjadi gesekan atau konflik tidak lagi ada, karena kedua negeri tidak lagi hidup atau tinggal berdekatan. Kita tau ini bukan konflik yang pertama terjadi, sebelumnya sudah terjadi konflik semacam ini.
Semua bentuk penyelesaian konflik harus berangkat dari prinsip keadilan yang berimbang bagi kedua pihak, memastikan masa depan kedua pihak, tidak ada lagi konflik, karena sejatinya masyarakat pelauw juga tidak ingin hidup dalam konflik.
Semetara itu Ketua Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Pelauw (IPPMAP) dalam menanggapi pertemuan yang dianggap sebagai perdamaian semu itu, menghimbau sekaligus menyerukan agar seluruh komponen masyarakat Pelauw tetap menolak Kariu kembali.
Pihaknya mengapresiasi kehadiran negara dalam menyelesaikan konflik ini, namun kami juga meminta kepastian keamanan dalam jangka waktu yang panjang. Untuk diketahui konflik telah berlangsung setidaknya tiga kali, yakni tahun 1930, 1999 dan terbaru 26 Januari 2022, menunjukan bahwa ada siklus konflik, dan itu bakal terulang kalau kedua kelompok masyarakat masih tinggal dalam satu kawasan yang sama.
Untuk itu, kami menghimbau agar pemerintah mengambil opsi agar Kariu relokasi, misalnya ke Pulau Seram demi keamanan dan kedamaian yang hakiki. Sehingga kedepan tak ada lagi konflik yang yang tentu saja merugikan kedua bela pihak.(AAN)