Wujudkan Penegakan Hukum Humanis dan Responsif, Kajati Maluku: Kerja Ikhlas dan Tulus

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku, Edyward Kaban, SH.,M.H, mengatakan, dalam mewujudkan penegakan hukum yang humanis dan responsif di Maluku, meskipun telah diupayakan melalui program kerja masing-masing bidang, namun yang paling utama adalah bekerja dengan ikhlas dan tulus.

“Prinsip kerja yang humanis selalu berdasar pada keikhlasan dan ketulusan dalam bekerja, itu yang saya tanamkan selama berkarir,” kata Kaban, saat berbincang santai sebagai narasumber dalam Podcast Obrolan Harian Rakyat Maluku, di ruang kerjanya, Kamis, 3 November 2022.

Dia menjelaskan, program kerja masing-masing bidang yang sementara dijalankan itu di antaranya Jaksa Masuk Sekolah (JMS), baik tingkat SD, SMP maupun SMA/ sederajat, yang merupakan bentuk responsif Kejati Maluku dalam melakukan sosialisasi penegakan hukum.

“Program JMS ini ditujukan untuk memperkaya khasanah pengetahuan siswa terhadap hukum dan perundang-undangan, serta menciptakan generasi baru taat hukum untuk tujuan kenali hukum jauhkan hukuman. Dan ada juga program Jaksa Menyapa,” jelas Kaban.

Dikatakan Kaban, saat ini Kejati Maluku juga telah membentuk Bidang Tindak Pidana Militer dalam lingkup kerja Kejati Maluku, yang memiliki tugas dan wewenang dibidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat serta penanganan perkara koneksitas yang bertanggungjawab langsung kepada Jaksa Agung.

“Ada suatu amanat undang-undang bahwa terhadap perkara yang dilakukan dengan sipil dan militer diadili secara koneksitas. koneksitas itu ibaratnya bersama-sama jangan dipisah-pisah. Jadi, pidana militer itu untuk menangani perkara koneksitas, dimana pelakunya militer dan juga sipil,” terangnya.

Selain dibentuk Bidang Pidana Militer, lanjut Kaban, juga telah dilaksanakan Keadilan Restoratif/Restorative Justice (RJ), yang merupakan prinsip penyelesaian perkara dengan lebih menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula daripada menuntut adanya hukuman dari pengadilan.

Menurut Kaban, dalam ruang lingkup Kejaksaan RI, RJ diatur dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 21 Juli 2020 ditandatangani oleh Jaksa Agung RI, Sanitiar Burhanuddin.

Definisi keadilan restoratif yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Perja RI Nomor 15 Tahun 2020, bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

“Kemudian dalam Pasal 2 ditegaskan pula bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan,” tuturnya.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Perja RI Nomor 15 Tahun 2020, lanjut Kaban, bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat-syarat.

Yaitu, A. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. B. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun. C. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000.

“Dan ditegaskan pada Pasal 7 bahwa keadilan restoratif dilakukan dengan menempuh upaya perdamaian yang ditawarkan oleh Penuntut Umum kepada korban dan tersangka tanpa tekanan, paksaan maupun intimidasi,” katanya.

Ditambahkan Kaban, dengan dilaunching Rumah Restorative Justice (Rumah RJ) sebagai tempat dalam menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat, diharapkan juga mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan sebagai tempat musyawarah mufakat telah membuka harapan untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat.

“Untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, maka perlu kiranya dibuatkan ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum,” harapnya. (RIO/ SSL)

  • Bagikan