PAKAR Manajemen Prof. Ordway Tead punya pandangan berbeda soal kepemimpinan. Salah satu sifat kepemimpinan oleh Prof. Ordway disebutkan bahwa seorang pemimpin selain punya antusiasme (gairah) juga harus memiliki banyak akal.
Adalah Tarman Azzam (Alm), Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat saat berada di Ambon pernah menyoal masalah kepemimpinan daerah dengan mengutip pakar manajemen dari University Columbia, AS, itu.
“Pemimpin itu harus banyak akal. Itulah yang oleh Prof. Ordway Tead disebut dengan The Art of Leadership,” ujarnya saat tampil menjadi pembicara mengawali pelantikan pengurus baru PWI Provinsi Maluku Periode 2007-2011 yang diketuai Musa Pohwain dan sekretaris saya sendiri bertema: Peran Pers, Pembangunan dan Kepemimpinan Masa Depan, di Hotel Amans, Jumat, 23 Nopember 2007, lalu.
Seni seorang pemimpin itu terletak pada kemampuan akal dan kecakapan mempengaruhi orang lain agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. “Pemimpin itu memiliki sifat ke-bapak-an. Ayah terhadap keluarga, guru terhadap murid, kakak terhadap adik, juga harus sehat baik jasmani maupun rohani,” ujarnya.
Ada yang beda hari itu. Pak Tarman Azzam –begitu kami selalu menyapa beliau– tampil bak orator. Ia memang memiliki kelebihan terutama kecakapan dalam berkomunikasi. Selain sebagai wartawan Pak Tarman adalah sosok intelektual yang memiliki pengetahuan luas dan sebagai seorang pembelajar.
Selalu ada ilmu dan nasehat yang mengalir dari mulutnya. Baik dalam diskusi kecil di rumah makan atau di lobi hotel ataupun di podium. Dari ungkapan yang sifatnya ilmiah hingga jenaka selalu melekat pada sosok yang tampil bersahaja itu.
Saat memberikan sambutan pada acara pelantikan yang juga dihadiri Gubernur Maluku Karel Alberth Ralahalu tersebut Pak Tarman menyentil soal peran pers, pembangunan dan kepemimpinan masa depan di Maluku dengan penuh semangat.
Seorang pemimpin, kata Tarman Azzam, selain memiliki akal yang banyak ia harus memiliki integritas tinggi. Berkarakter kuat, pembela rakyat, bermoral baik, jujur, tidak mengeluh, dan tidak tercela.
Selain punya jiwa visioner dan memiliki kemauan positif bagi kemajuan untuk masa depan, kata Tarman Azzam, seorang pemimpin di daerah juga harus punya posisi tawar yang kuat di tingkat nasional.
Momentum reformasi di bidang otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2002 mengharuskan setiap pemimpin di daerah dituntut mengambil peran mengisi keberlangsungan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tentu itu tidaklah cukup. Ada banyak faktor penentu selain membutuhkan peran kepemimpinan daerah (local leadership) juga dibutuhkan keterlibatan peran dari lembaga-lembaga politik, ekonomi, hukum, agama, sosial budaya, dan pers (media massa). Sejauh mana peran serta mereka mewujudkan public participation ini tentu sangatlah menentukan.
Di tengah daerah lain memacu diri berjuang keras membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang secara nasional mengalami kemajuan signifikan — Maluku tentu tak boleh ketinggalan dan menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan di daerah ini.
Dengan APBD Provinsi Maluku yang belum melampaui Rp 700 miliar itu berarti tak lebih baik dari provinsi baru seperti Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua Barat. Ini bila dilihat dari income perkapita Maluku hanya Rp 3,4 juta atau masih jauh di bawah rata-rata nasional yang telah sekitar US $ 1.200.
Itulah bila kita tak ingin ketinggalan dari daerah sekelilingnya seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) bahkan dibanding tiga provinsi yang relatif baru yakni Maluku Utara, Papua Barat, dan Gorontalo, pemimpin di Maluku harus lebih bekerja keras lagi.
Dengan potensi kekayaan alam dan lautan kendala yang dihadapi Maluku jauh lebih rumit terutama dari segi infrastruktur transportasi. Walau terkendala infrastruktur tetap terbuka peluang dan harapan untuk tercapainya kemajuan.
Sebenarnya kondisi berat Maluku selama ini merupakan cermin keterpurukan Indonesia. Lautannya yang luas menyimpan harta karun yang besar namun masih tetap menjadi misteri lantaran belum mampu digarap demi kesejahteraan rakyat di daerah ini.
Dibandingkan banyak daerah lain di Indonesia — Maluku yang berpenduduk lebih 1,4 juta jiwa itu merupakan modal besar bagi sejarah panjang pendirian Republik Indonesia.
Maluku memang merupakan gambaran Indonesia dengan lautan dan pulau-pulau yang kaya raya tapi masih tetap misteri, ditingkahi problema kependudukan yang tidak sederhana.
Maluku relatif tertinggal dari banyak daerah lain. Menghadapi realitas itu tak mudah menuding siapa yang salah lantaran Maluku tak lepas dari perjalanan sejarah panjang penuh kesulitan dan banyak tantangan.
Pada pertengahan 2006 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal hampir separoh desa di Indonesia dalam keadaan miskin termasuk di Maluku. Dari total 70.611 desa di Indonesia ada 32.379 desa miskin.
Pertolongan darurat untuk membangun sebenarnya di Maluku. Desa-desa tersebut memerlukan dana sedikitnya Rp 20 Triliun. Tahun 2007 Maluku termasuk daerah dengan prosentase kemiskinan terbesar setelah Provinsi Papua, Papua Barat, Kalteng, Kalbar, dan Aceh (NAD).
Data BPS (2004) mencatat Maluku urutan kedua dengan prosentase penduduk miskin terbesar setelah Papua, yakni: 54% di Papua dan 45% di Maluku. Ketika itu penduduk miskin Kalteng 12% dan melonjak menjadi 43% dengan separoh desanya miskin.
Pemerintah Pusat 2007 mencatat pula jumlah desa miskin di Papua 1.795 desa (lebih 85%) dari 2.179 desa yang ada di Irjabar 943 desa (lebih 80%) dari 1.160 desa, dan di Kalteng ada 1.005 desa miskin (80%) dari total 1.351 desa.
Sebagai daerah bekas konflik Maluku memiliki tingkat labilitas sosial politik yang tinggi. Sama dengan Papua dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) relatif pertumbuhannya lamban.
Secara universal pertumbuhan ekonomi daerah-daerah konflik mengalami keterlambatan dan menghalangi pembangunan. Aceh gambaran daerah konflik yang kesejahteraan rakyatnya tertinggal dibandingkan kawasan lain di Sumatera.
Hal itu karena konflik selalu menimbulkan tidak ada jaminan hukum dan keamanan, kekhawatiran para pengusaha karena investasinya terancam, tak ada lapangan kerja baru, pengangguran meningkat, masyarakat tidak produktif dan terjadi low income bahkan loss income.
Pun komunikasi sosial dan perhubungan tidak normal, pysikologi publik minder dan traumatis, ketidakmampuan berkompetisi dengan daerah lain, selalu diliputi oleh situasi eksplosif, kerusuhan (riot) yang menghancurkan pembangunan, kehancuran demokrasi: tertutupnya akses informasi, kerugian bagi media massa, dan ancaman potensial atas kebebasan pers.
Kunci utama bagi maju-mundurnya suatu negara atau daerah memang tergantung banyak faktor. Salah satu sebagaimana dimaksud Prof.Ordway di awal tulisan ini yakni kualitas kepemimpinan.
Seorang pemimpin harus banyak akal yang dimaksud Prof. Ordway di atas tidak lain yakni pemimpin harus memiliki kecakapan, integritas, punya kematangan intelektual, emosional, dan spiritual yang religius, amanah, ikhlas, dan menganggap kerja itu ibadah.
Juga memiliki kemampuan sense of cricis yakni kepekaan mengatasi krisis. Seorang pemimpin harus menjadi problem of solving atau pemecah masalah (mencari solusi), bukan justeru menjadi bagian dari masalah. Karena itu kualitas kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan pembangunan yang terjadi dalam kehidupan atau institusi manapun baik di pusat maupun daerah.
Tahun 2024 kita akan memasuki perhelatan tahun politik untuk pemilihan anggota legislatif, kepala daerah, walikota, gubernur, dan presiden. Salah satu malapetaka besar bisa mengancam masyarakat dan bangsa kita bila terjadi krisis kepemimpinan.
Untuk menghindari kesalahan dan keterjebakan dalam lingkaran setan ketertinggalan, kemiskinan, dan keterbelakangan pembangunan, maka dalam rekrutmen kepemimpinan di tahun politik 2024 nanti masalah kepemimpinan dan masa depan pembangunan harus selalu diaktualisasikan.
Juga perlu direvitalisasikan dan dipublikasikan dalam proses demokratisasi secara konsisten sehingga tumbuh public participation. Dari sini kita berharap kelak lahir pemimpin yang banyak akal, punya kecakapan, integritas, memiliki kematangan intelektual, emosional, dan spiritual yang religius demi kemajuan daerah dan Tanah Air tercinta.(***)