RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — JAKARTA, — Tuduhan adanya politik identitas (identity politics) belakangan ini mengemuka. Gejala itu mulai terbaca semenjak Deklarasi Partai Nasdem mencapreskan Anies Rasyid Baswedan, Senin, 3 Oktober, 2022.
Dan upaya mematahkan popularitas Anies menuju Pilpres 2024 tak ada cara lain kecuali dengan melakukan pyswar atau perang urat syaraf.
Kita tahu seminggu sebelum Deklarasi Capres Anies Baswedan itu ada upaya “mengkriminalkan” mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Melalui tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada kesan Anies akan ditersangkakan terkait kasus ajang Formula E. Namun hal itu gagal dilakukan di tengah begitu banyak tekanan atas lembaga antirasuah.
Medio Juni lalu Nasdem telah mengumumkan tiga nama bakal calon presiden partainya. Mereka yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Dari tiga nama, Anies Baswedan akhirnya dipilih menjadi bakal capres definitif. Orang nomor satu di ibu kota negara itu dinilai sebagai sosok terbaik.
Popularitas dan integritasnya yang tinggi membuat gerah banyak pihak yang telah diperlihatkan oleh cucu tokoh pejuang kemerdekaan Abdul Rahman Baswedan alias A.R.Baswedan itu.
Menjawab mengapa Anies Baswedan yang dipilih, Ketua DPP Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan, “Why not the best? (mengapa tidak yang terbaik?),” kata Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Senin, (3/10/22).
Sejak deklarasi sebagai Capres dan meredupnya upaya hukum KPK untuk “mengkriminalkan” Anies — berbagai cara pun dilakukan. Salah satu yang ditempuh oleh lawan politik melalui pyswar yakni mengedepankan isu politik identitas.
Adalah berlebihan jika politik identitas yang belakangan dikedepankan oleh lawan-lawan politik diarahkan kepada Anies sebagai politik agama atau yang dimaksud di sini tidak lain adalah kelompok Islam.
Politik identitas menurut Wikipedia adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Atau sebagai bentuk perlawanan dan alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut.
Mengutip Moeflich H. Hart, identitas adalah primordial. Ia inheren pada setiap manusia. Identitas itu adalah sesuatu yang natural dibawa dan menempel sejak manusia lahir.
Suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) adalah identitas. Pun nama, jenis kelamin, tradisi dan kebudayaan adalah identitas. Identitas adalah keragaman dan keragaman adalah esensi kehidupan, anugerah bahkan amanat Tuhan.
Fenomena terhadap politik identitas itu baru muncul belakangan ini. Paling tidak semenjak Pilkada gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Sebelumnya setiap perhelatan politik Pilkada, Pilgub, hingga Pilpres tidak ada gejala semacam ini.
Kita tahu Anies satu-satunya gubernur yang berhasil melawan oligarki (para pemodal) setelah ia membatalkan proyek-proyek prestius reklamasi Jakarta.
Sejak kekalahan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melawan Anies di Pilgub DKI Jakarta polarisasi antarkelompok di ibukota pun semakin meluas dan menajam. Bahkan merembet hingga ke daerah.
Ditandai oleh demonstrasi besar-besaran sebagai tanda protes atas kasus penghinaan agama oleh Ahok dikenal dengan 414 dan 212 menambah daftar panjang segregasi sosial dan politik kekuasaan pun semakin mengemuka.
Pemetaan kelompok ini tidak saja di Pilgub DKI tapi juga terbawa sampai pada Pilpres 2019. Meski Pilpres 2024 masih dua tahun tapi perang urat syaraf kini sudah mulai dilancarkan oleh lawan-lawan politik terhadap Pencapresan Anies.
Mereka ini terus mendengungkan isu politik identitas lewat tangan para pendengung (buzzer). Kondisi ini membuat iklim politik nasional dihantui olah ketegangan dan polarisasi.
Boleh jadi politik identitas hanyalah jargon yang dimunculkan karena ada kelompok yang kalah dalam suatu peristiwa politik yang demokratis. Sebagai alasan untuk menjatuhkan seseorang atas ketidaksiapan menerima kekalahan itulah maka tak ada cara lain selain dengan melakukan pyswar.
Mestinya dengan melihat politik sebagai identitas tidak harus dijadikan sebagai alat agitasi untuk memukul lawan-lawan politik dengan mengarahkan pada kelompok agama tertentu secara tendensius dalam hal ini Islam.
Sebab politik identitas pada hakikatnya adalah sesuatu yang alami. Tak ada politik yang tak membawa identitas yang inheren pada setiap manusia.
“Ketakutan pada politik identitas adalah politik pengingkaran diri (the politics of self-denial),” begitu kata Hart.
Dan untuk menjawab ketakutan dan melawan popularitas Anies tak ada upaya lain kecuali dengan cara-cara propaganda.
Perang urat syaraf merupakan salah satu cara yang kerab dipakai oleh kalangan dunia intelijen sebagai strategi komunikasi.
Moeryanto Ginting Munteh dan R.M.Simatupang dalam bukunya: Propraganda dan Perang Urat Syaraf (2017) mengungkapkan banyak cara untuk melakukan propaganda.
Bisa dengan memanfaatkan “tangan” orang lain melalui buzzer atau lembaga resmi tergantung kemampuan sebuah tim atau intelijen.
Supaya gagasannya terlaksana perlu dibangun sebuah strategi komunikasi agar pesannya tersampaikan.
Munculnya perang hoax melalui tangan buzzer termasuk mengedepankan isu politik indentitas saat ini sangat memungkinkan hal itu bisa dilakukan oleh seorang propagandis dengan beragam cara untuk menyerang lawan politik.
Hal itu bisa saja dilakukan melalui provokasi, hasutan atau agitasi dengan apa yang disebut politik devide et impera.
Dalam banyak kasus perang urat syaraf selalu diawali oleh sebuah strategi yang berujung pada perang kebencian paham dengan golongan sendiri atau kelompok lain.
Mereka ini boleh saja menjadi bagian dari oligarki. Dan, ujung dari pyswar ini tak lain adalah hegemoni: kuasai opini, kuasai wilayah, kuasai pemerintahan, dan kuasai sumber daya alam.
Jadi propaganda atau perang urat syaraf sepenuhnya tergantung pada kemampuan sebuah tim atau intelijen yang dibangun melalui sebuah strategi komunikasi yang efektif agar ide atau gagasannya bisa tersampaikan.
Namun di atas semua itu sebuah langkah hegemoni yang ingin memecah belah melalui politik adudomba apalagi dengan mengedepankan campur tangan oligarki tak akan mampu mematahkan sebuah keyakinan dan hanya akan berakhir menjadi malapetaka.
Di tengah ancaman konflik komunal dan kegaduhan politik kontemporer dengan beragam isu yang melatarinya menuntut kita untuk peka menangkap setiap dinamika politik yang terjadi di sekitar kita agar tak mudah diadudomba.
Dan, langkah untuk menjegal Anies —yang baru saja melepas jabatan sebagai gubernur 16 Oktober 2022— dengan cara pyswar melalui stigma politik identitas yang mengarah pada kelompok tertentu secara tendensius dalam hal ini kelompok Islam seharusnya dihindari agar tidak ada benturan sesama anak bangsa.
Karena identitas adalah realitas kehidupan. Dalam demokrasi, politik identitas akan selalu hidup sebagai keragaman.
“Demokrasi tak membutuhkan persatuan, yang dibutuhkan adalah kemampuan negara memenej dan mengelola perbedaan,” kata Hart.
Di sini negara harus hadir. Politik identitas sama sekali bukan masalah. Akan menjadi masalah bila negara dan kekuasaan salah menyikapi perbedaan dan tak mampu mengelola keragaman identitas-identitas warganya yang disebut fail state (negara gagal).
Kedepan kita tentu harus menjauhi upaya-upaya mempetakonflikkan antarkandidat dan pendukung. Bukan saatnya kita mengedepankan kepentingan egoisme pribadi atau kelompok politik tertentu apalagi di bawah bayang-bayang dan tekanan para oligarki.
Yang diperlukan kepemimpinan Capres kedepan adalah sosok yang cerdas dan berintegritas dan senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip egaliter. Sosok yang moderat.
Figur yang mampu mengedepankan kesetaraan, kebersamaan, dan kolaborasi dalam menjalankan program pemerintahan dari pusat hingga daerah dengan spirit kebangsaan.(*)