RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, —Permintaan keluarga dan pendukung meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Gubernur Papua Lukas Enembe
secara terbuka sehingga bisa disaksikan umum.
Permintaan ini dikritisi Guru Besar Universitas Cendrawasih (Uncen) Prof Melkias Hetharia.
Melkias Hetharia mengatakan bahwa permintaan ini bertentangan dengan Hukum Acara yang berlaku di negara ini.
“Jadi, untuk mengadili seseorang di lapangan seperti itu, saya kira dalam sistem hukum kita tidak mengenal itu. Jadi itu harus dilakukan berdasarkan aturan hukum acara,” ujar pria asal Maluku ini kepada wartawan via rilisnya, Selasa, 11 Oktober 2022.
Guru Besar Hukum ini menjelaskan bahwa Indonesia memiliki hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Proses hukum yang berlangsung dalam rangka penyelesaian masalah korupsi di Papua termasuk Lukas Enembe semuanya berjalan menurut hukum acara yang ada. KPK, pinta Prof. Melkias, perlu bekerja secara profesional, dan menyidik perkara ini sesuai dengan hukum yang ada, lalu menegaskan bahwa semua prosedur itu bisa menjamin keadilan bagi tersangka.
“Biarlah aturan hukum ditaati oleh semua pihak, karena kita hidup dalam suatu negara dan negara ini adalah negara hukum sehingga semua orang harus mematuhi hukum” ujar Melkias Hetharia.
Sebagai warga negara, harus tunduk dan taat pada hukum. Hukum akan membawa masyarakat kepada suatu tujuan dimana bisa menikmati keadilan dan kesejahteraan.
“Tanpa kecuali, entah itu masyarakat maupun penyelenggara negara harus menaati hukum, baik hukum positif, hukum agama, hukum adat, termasuk hukum internasional yang dibangun di atas dasar etika,” ucapnya.
“Jadi kita semua harus tunduk kepada aturan-aturan itu. Dan semua aturan itu tanpa kecuali berada dalam kehidupan kita secara simultan, berlaku secara bersama-sama. Maka mau tidak mau kita harus menaati semua hukum yang ada,” tambah Prof. Melkias.
Prof. Melkias juga menyitir soal gonjang-ganjing para pemimpin di Pusat dengan penasihat Hukum Lukas Enembe. dirinya mengimbau agar masing-masing pihak harus profesional.
“Kalau masalah gratifikasi 1 miliar, ya itu saja yang dibicarakan, kenapa melebar ke mana-mana. Penasihat hukum harusnya fokus ke satu miliar itu. Komentari itu saja. Tidak usah bawa ke ranah politik. [Mereka] bukan penasihat politik, tapi penasihat hukum, supaya tidak menimbulkan gesekan-gesekan ke mana-mana,” sebut Prof Melkias.
Mengenai alasan kesehatan yang menjadi dalih Lukas Enembe tidak dapat memenuhi panggilan KPK, menurut Prof. Melkias, KPK memiliki akses untuk mempelajari rekam medis Lukas Enembe di rumah sakit di Singapura. Dan dokter di Singapura yang menangani Lukas bisa menjadi mediator untuk menengahi persoalan yang belakangan ini terus mencuat antara KPK dan Kuasa Hukum Lukas Enembe.
“Saya kira jalan yang terbaik adalah KPK dapat bekerja sama dengan tim dokter di Singapura yang mengetahui rekam medis Lukas Enembe secara pasti. Kalu dokter yang masuk di tengah mungkin kita akan terlepas dari kepentingan-kepentingan lainnya,” tandas Melkias.