RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — Sembilan tahun sudah kepergian Kiyai Ali Fauzi. Sabtu, 27 Agustus, lalu menandai 9 tahun wafatnya tokoh pergerakan, pendidik, dan ulama kharismatik Maluku itu di usia 89 tahun.
Ia wafat dan dimakamkan Selasa 27 Agustus 2013 di Jakarta setelah menjalani perawatan karena sakit di RS. Omni Hospital, Pulomas. Almarhum menghembuskan nafas terakhir sekira pukul 01.38 dinihari WIB.
Lahir di Ambon pada 28 Januari 1924, nama Kiyai Ali Fauzi telah mengharumkan sejarah panjang pergerakan Islam di Maluku.
Tak heran tokoh “berhaluan” keras itu selalu berseberangan dengan banyak pihak termasuk dengan penguasa sekalipun.
Dua kali almarhum pernah dipenjara pada era rezim Soekarno dan sekali di masa rezim Soeharto.
Keberanian serta pendiriannya yang teguh dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran sesuai dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar membuat sang kiyai banyak disegani oleh kawan maupun lawan politik.
Hingga mengakhiri hayatnya, ulama kharismatik itu tetap pada pendiriannya, komitmen dan konsisten dalam menjalankan nilai-nilai agama.
Beliau seolah menjadi benteng sekaligus penjaga moral dan akhlak sepanjang sejarah dalam menjalankan misi dakwah di daerah ini.
Berbagai wilayah pelosok di Maluku telah ia datangi sejak menjadi pegawai pada Kanwil Departemen Agama Maluku pada tahun 1950 silam.
Dari sinilah kiprah tokoh Muhammadiyah Maluku itu menjadi sosok yang tidak mudah dilupakan oleh generasi lslam Maluku.
Sebagai seorang ulama almarhum adalah sosok guru yang telah banyak melahirkan pemimpin.
Karena kebesaran namanya itu dalam setiap pergerakan politik Islam almarhum menjadi katalisator sekaligus motivator yang tampil di depan dalam menyebarkan dakwah.
Tak heran namanya yang demikian harum membuat banyak orang tua di Maluku terpaksa menggunakan nama besar almarhum untuk anak-anak mereka.
Ia pernah bercerita pada saat saya membesuk di RS Al-Fatah, Ambon, bahwa mesti dalam kondisi sakit ia sempat didatangi salah seorang lelaki yang minta dibacakan doa untuk keselamatan sang istrinya yang hendak melahirkan dalam kondisi sulit.
“Setelah saya bacakan air dan kemudian diminum tak lama kemudian sang istrinya pun melahirkan anak laki-laki. Sebagai ucapan rasa syukur, mereka minta izin agar putra mereka diberikan nama Ali Fauzi.
Saya pun mengiyakan,” ujar Kiyai Ali Fauzi kepada saya pada suatu waktu ketika almarhum sedang dirawat di RS Al-Fatah, Ambon.
Almarhum mengaku bangga namanya dijadikan sebagai idola. Dari utara di Kota Ternate hingga Kota Tual, Maluku Tenggara, nama besar Kiyai Ali Fauzi menjadi sosok teladan dan menjadi kebanggaan untuk diabadikan namanya sebagai nama anak mereka.
Di Ternate, misalnya. Ada yang mengabadikan nama anaknya dengan nama Ali Fauzi Umaternate. Sedangkan di Tual
ada yang memberikan nama anak mereka dengan nama Ali Fauzi Rumkey.
Sayang di tengah aksi-aksi terorisme yang melibatkan salah satu bomber Bom Bali 2002 dalam kelompok Imam Samudera bernama Ali Fauzi yang selalu menghiasi media massa di Tanah Air membuat almarhum mengaku tidak “nyaman”.
Almarhum merasa jangan-jangan misi dakwah yang dikembangkan selama ini di Maluku bisa disalahartikan dengan gerakan terorisme.
Karena itu, ketika dalam sebuah acara wisuda Khatamul Quran yang diselenggarakan oleh Taman Pengajian Al-Quran Al-Kautsar di bawah Yayasan Pendidikan Ali Fauzi dan diketuai oleh H.Saleh Watiheluw, di Gedung Ashari Al-Fatah, Mei 2007, di hadapan orang tua dan undangan almarhum sempat mengeluarkan “maklumat” untuk menambah nama ayahnya di belakangnya menjadi: Ali Fauzi Abdul Djabbar.
Di hadapan hadirin saya menyaksikan ekspresi sang kiyai ini sangat serius saat maklumat itu ia sampaikan.
Ini setelah melihat begitu massifnya gerakan terorisme di Tanah Air hingga menimbulkan ketakutan. Bahkan gara-gara tindakan terorisme dan bom tidak jarang membuat Islam kerab diidentikkan dengan kekerasan.
“Jadi hari ini saya keluarkan maklumat dengan menambah nama ayah saya di belakang menjadi: Ali Fauzi Abdul Djabbar. Ini harus saya sampaikan agar tidak ada yang mengaitkan Ali Fauzi Abdul Djabbar dengan gerakan bom yang menghiasi di media massa,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, kecintaannya mengembangkan dakwah membuat almarhum lebih memilih menjadi dai ketimbang harus melanjutkan pekerjaan sebagai PNS di Departemen Agama Provinsi Maluku.
Dan sejak tahun 1957 almarhum lebih memilih jalur dakwah karena merasa tidak nyaman lagi menjadi pegawai negeri dan lebih baik memilih pensiun dini karena tidak lagi merasa nyaman di lingkungan kerjanya.
Dalam berbagai ceramahnya pesan-pesan moral dan akhlak selalu menjadi tema utama sang kiyai ini. Pun kritik kerab ia lontarkan membuat ketidaknyamanan oleh mereka yang merasa tesinggung dengan sikapnya.
Mengutip buku Kiyai Ali Fauzi berjudul: Perjalanan Hidup Seorang Hamba Allah (2012), ia mengatakan salah satu cara untuk memperbaiki nasib bangsa ini bila aparat birokrasi kita dari pusat hingga daerah benar-benar menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral. Tidak koruptif atau curang.
“Kita sudah merdeka, tapi sayang kemerdekaan itu masih digerogoti oleh akhlak dan perilaku oknum pejabat kita yang tidak amanah. Mereka diberikan kepercayaan menjadi pemimpin tapi di antara mereka tidak jujur,” ujarnya.
Terorisme ternyata memiliki dampak yang luas. Tidak saja bagi mereka yang terimbas oleh para bomber bernama Ali Fauzi dkk. dalam kasus Bom Bali 2002 silam itu.
Terorisme yang diidentikkan dengan gerakan bom di Tanah Air selama ini juga bisa berimplikasi negatif pada nilai-nilai Islam pun pada reputasi nama baik seseorang.
Contohnya sebagaimana yang dialami Kiyai Ali Fauzi Abdul Djabbar hingga membuat sang kiyai ini harus mengeluarkan “maklumat” biar namanya tidak terkait terorisme. Allahumayarham untuk sang kiyai.(DIB)