RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Dulu di kalangan grup koran Jawa Pos News Network (JPNN) pernah muncul slogan: “Kesalahan Jurnalistik Selesaikan dengan Mekanisme Jurnalistik. Kata Balas dengan Kata-Kata.”
Slogan ini dimunculkan sebagai upaya ikhtiar kita saat itu untuk menjaga agar roh undang-undang pers sebagai lex specialis (khusus) tetap berfungsi secara maksimal dalam melaksanakan kontrol sosial. Tidak dibayang-bayangi oleh intimidasi dan teror akibat kesalahan jurnalistik yang dibuat oleh pers.
Kini kekhawatiran itu kembali mengemuka menyusul adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR-RI. Banyak pihak menilai jika RKUHP ini benar-benar diterapkan bukan tidak mungkin akan mereduksi hak-hak pers yang sebelumnya telah diatur sebagai lex specialis dalam UU Pers No. 40/1999 itu.
Beberapa pasal yang dinilai karet dalam RKUHP itu adalah Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah serta Pasal 246 dan 248 tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945 menandai dibentuknya UU Pers No. 40/1999 — tanpa mengurangi hak azasi seseorang, kemerdekaan pers tentu haruslah dijaga. Bukan dengan melakukan intimidasi ataupun pembungkaman melalui pendekatan KUHP.
Agar fungsi kontrol sosial tetap terpelihara dan penghormatan terhadap hak azasi manusia terjaga maka hak koreksi dan hak jawab sebagaimana diatur dalam UU Pers juga dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) haruslah dipatuhi dan dijunjung tinggi.
Itulah mengapa slogan: “Kesalahan Jurnalistik Diselesaikan dengan Mekanisme Jurnalistik” penting “dikampanyekan” agar di satu sisi pers kita tidak bersikap arogan atau sewenang-wenang karena di balik kemerdekaan pers juga ada kemerdekaan orang lain.
Itu pula mengapa melalui slogan ini siapa pun yang menjadi objek dari pemberitaan karena kesalahan jurnalistik tidak harus melakukan upaya intimidasi dan kekerasan. Apalagi melakukan pembungkaman melalui pendekatan hukum positif, tanpa lebih dulu melalui mekanisme jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers yang bersifat lex specialis itu.
Di tengah upaya menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial itulah beragam cara untuk membungkam kerja-kerja jurnalistik kini masih kerab menghantui pers kita. Padahal sebagai salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur terpenting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, pers merupakan salah satu pilar utama yang harus dijaga.
Mengutip Hinca IP Pandjaitan, SH, MH dalam bukunya: “Gunakan Hak Jawab, Hak Koreksi & Kewajiban Koreksi Anda Ombudsman Memfasilitasinya”, (2004), mengatakan lahirnya UU Pers itu tidak lepas karena amanat UUD 1945 demi terwujudnya penghormatan atas hak azasi manusia khususnya hak berekspresi, mengeluarkan pendapat dan pikiran, dan berkomunikasi guna memperoleh informasi.
Ada lima dasar pertimbangan lahirnya UU Pers itu. Pertama, karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD I9 1945 haruslah dijamin.
Kedua, karena dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak azasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, karena pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang
profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Keempat, karena pers nasional berperan menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kelima, karena Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tentang ancaman kemerdekaan pers ini, Leo Batubara dari Dewan Pers dalam sebuah workshop yang digelar Maluku Media Center (MMC) di Ambon, 18-19 Januari 2005, dalam makalahnya berjudul: Kriminalisasi Pers dalam Konteks Hubungan Pers, Pemerintah dan Publik mengungkapkan selain UU Pers No.40/1999 dan Amandemen II UUD 1945 yang melindungi kemerdekaan pers, di balik itu ternyata ada delapan undang-undang yang mengancam kemerdekaan pers.
Seperti biasa kalau berbicara dengan nada berapi-api Pak Leo Batubara mengemukakan ancaman itu pertama UU No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua, UU No.23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Ketiga UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas. Keempat UU No.4/1999 tentang Kepailitan. Kelima UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keenam UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Ketujuh KUH Pidana ada 37 pasal mengancam kemerdekaan pers. Kedelapan KUH Perdata dapat menghukum pers dengan denda misalnya Rp.1,5 triliun.
“Bila dari tahun 1959-1998 SIUPP menjadi alat pengekangan pers, sekarang KUHP digunakan sebagai alat kendali menumpulkan pers. Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan RUU KUHP berisi 49 pasal kriminalisasi pers (lebih kejam dari pemerintahan kolonial Belanda),” ujar Pak Leo Batubara kala itu.
Pada era rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru, menurut Pak Leo Batubara, pers ditindas dan ditiarapkan oleh legislatif, eksekutif/ABRI dan yudikatif. Mereka bekerja sama meniadakan kemerdekaan pers dan mengekang fungsi kontrol sosial.
“Peranan mereka untuk melakukan pengawasan, kritik dan koreksi oleh pers. Sebanyak 237 penerbitan pers dibredel karena dinilai mengganggu stabilitas nasional. Indonesia terpuruk, pers gagal memberi peringatan dini,” ujarnya.
Untuk menghindari kecurigaan dan menjaga kemerdekaan pers dari upaya yang berpotensi mengkriminalisasi dan mempidanakan jurnalis dari karya jurnalistik jika toh draft RUU KUHP terbaru disahkan, maka sebaiknya perlu adanya upaya untuk menghapus sejumlah pasal yang dianggap karet atau tak jelas maknanya serta tumpang tindih dengan undang-undang yang telah ada.
Upaya menghindari pembungkaman dan kriminalisasi pers seharusnya kita perlu mematuhi mekanisme jurnalistik. Dalam perkara hukum UU Pers sebagai lex specialis tentu harus diutamakan karena ia berlaku lebih tinggi dari pada UU lex generalis yang tentu tidak bisa menganulir aturan yang sudah ada dalam UU Pers yang bersifat lex specialis itu.
Agar tidak dibayang-bayangi oleh pembungkaman, teror, intimidasi dan tidak terkooptasi oleh kepentingan tertentu menyusul disahkannya RUU KUHP itu — tugas kita semua adalah menjaga roh dari salah satu pilar utama demokrasi ini dari segala bentuk intervensi dan rongrongan dari upaya-upaya untuk mengkriminalisasi pers oleh pihak-pihak yang berkepentingan.(*)