Oleh: Herry Purwanto / Wartawan Harian Rakyat Maluku
Sebagai sebuah negara, Indonesia perlu memiliki hukum yang mengatur tatanan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Karena pada hakikatnya, keberadaan sebuah hukum ditujukan untuk menciptakan perimbangan dan keteraturan hidup manusia.
Dahulu, hukum dipakai sebagai sarana pembalasan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang melanggar hukum. Hal ini terlihat dalam aliran-aliran hukum klasik yang berkembang dan tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan saduran atau kodifikasi dari hukum kolonial Belanda.
Sejalan dengan perkembangan hukum dalam masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia, maka dari tahun ke tahun hukum di Indonesia mulai mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini terlihat dari hukum yang bukan lagi digunakan sebagai sarana pembalasan, akan tetapi hukum sekarang dipakai sebagai sarana pembinaan.
Jika dahulu ada seseorang yang telah dinyatakan bersalah, maka akan dihukum dengan hukuman masuk penjara. Namun sekarang jika ada seseorang yang telah dinyatakan bersalah, maka akan dikenakan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk dibina. Hal inilah yang dilakukan menuju pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Secara berkelanjutan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, maka telah diterapkan pula Keadilan Restoratif/Restorative Justice, yang merupakan prinsip penyelesaian perkara dengan lebih menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula daripada menuntut adanya hukuman dari pengadilan.
Praktik penegakan hukum dengan mengadopsi prinsip Keadilan Restoratif untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, kini sudah dilakukan di semua institusi penegakan hukum di Indonesia, baik Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Masing-masing pimpinan dari empat lembaga penegakan hukum di Indonesia tersebut, juga telah menandatangani Nota Kesepakatan Bersama pada 17 Oktober 2012 yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana melalui prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
Dalam ruang lingkup Kejaksaan RI, keadilan restoratif diatur dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 21 Juli 2020 ditandatangani oleh Jaksa Agung RI, Sanitiar Burhanuddin, dan diundangkan tanggal 22 Juli 2020 ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Widodo Ekatjahjana.
Definisi keadilan restoratif yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Perja RI Nomor 15 Tahun 2020, bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Kemudian dalam Pasal 2 ditegaskan pula bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Dan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut: A. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. B. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun. C. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000.
Ditegaskan pada Pasal 7 bahwa keadilan restoratif dilakukan dengan menempuh upaya perdamaian yang ditawarkan oleh Penuntut Umum kepada korban dan tersangka tanpa tekanan, paksaan maupun intimidasi.
Upaya perdamaian dilakukan pada tahap penuntutan, saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua) dimana Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator. Upaya perdamaian berlangsung sampai disetujuinya kesepakatan perdamaian antara kedua pihak.
Sebagai perpanjangan tangan di daerah, Kejaksaan RI telah menggagas rumah restorative justice di 10 Kejaksaan Tinggi (Kejati) untuk dapat menyelesaikan permasalahan di wilayah setempat. 10 lokasi itu adalah Kejati Sumatera Utara, Kejati Aceh, Kejati Sulawesi Selatan, Kejati Sulawesi Barat, Kejati Jawa Barat, Kejati Jawa Timur, Kejati Jawa Tengah, Kejati Kepulauan Riau, Kejati Banten, dan Kejati Kalimantan Timur.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Fadil Zumhana, mengatakan, tujuan dibentuknya Rumah Restorative Justice sebagai tempat dalam menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat, mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan sebagai tempat musyawarah mufakat telah membuka harapan untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat.
“Untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, maka perlu kiranya dibuatkan ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum,” ujar Jaksa Agung, dalam sambutannya pada acara Launching Rumah Restorative Justice, 16 Maret 2022 lalu.
Atas nama pribadi dan selaku pimpinan institusi, Jaksa Agung menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, yang telah bekerja keras dan penuh dedikasi dalam menyelenggarakan kegiatan ini.
Jaksa Agung menyambut baik diselenggarakannya acara ini, karena kegiatan ini merupakan sebuah manifestasi bukti keseriusan kita dalam menjalankan salah satu fokus pembangunan hukum di Indonesia, yaitu berkaitan dengan implementasi restorative justice sebagaimana yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana Arah Kebijakan dan Strategi Bagian Penegakan Hukum Nasional ditujukan pada perbaikan sistem hukum pidana dan perdata, yang strateginya secara spesifik berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.
“Tidak dipungkiri lagi Keadilan Restoratif telah menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana, dimana hal yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara ini adalah adanya pemulihan keadaan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga melalui konsep penyelesaian keadilan restoratif ini maka kehidupan harmonis di lingkungan masyarakat dapat pulih kembali,” terangnya.
“Konsep keadilan restoratif merupakan suatu konsekuensi logis dari asas ultimum remedium yaitu pidana merupakan jalan terakhir dan sebagai pengejawantahan asas keadilan, proporsionalitas serta asas cepat, sederhana dan biaya ringan, oleh karena itu penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban dan kepentingan hukum lain,” tambah Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, konsep keadilan restoratif utamanya ditujukan untuk memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat, sehingga Jaksa sebagai penegak hukum dan pemegang asas dominus litis, dalam rangka pelaksanaan tugas penegakan hukum dan keadilan harus lebih mengutamakan perdamaian dan pemulihan pada keadaan semula, bukan lagi menitikberatkan pada pemberian sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Perdamaian melalui pendekatan keadilan restoratif merupakan perdamaian hakiki yang menjadi tujuan utama dalam hukum adat, sehingga sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sangat mengutamakan kedamaian, harmoni dan keseimbangan kosmis.
Lebih lanjut pada hakikatnya keadilan restoratif selaras dengan nilai-nilai Pancasila khususnya Sila Kedua yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan untuk diperlakukan sama dimuka hukum dan juga merupakan cerminan dari Sila Keempat dimana nilai-nilai keadilan diperoleh melalui musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah.
Mengingat proses pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat setempat, maka dalam hal ini Kejaksaan memandang diperlukan suatu ruang guna dapat menghadirkan Jaksa lebih dekat ditengah-tengah masyarakat untuk dapat bertemu dan menyerap aspirasi secara langsung dari tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, guna menyelaraskan nilai-nilai tersebut dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia guna mengambil keputusan dalam proses pelaksanan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ruang ini, Jaksa Agung berharap dapat menjadi sebuah rumah bagi aparat penegak hukum, khususnya Jaksa untuk mengaktualisasikan budaya luhur Bangsa Indonesia, yaitu musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara.
Adapun dasar filosofi penyebutan rumah disini dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan. Sehingga dapat memulihkan kedamaian, harmoni dan keseimbangan kosmis di dalam masyarakat.
“Oleh karena itu izinkan saya dalam kesempatan ini memberikan nama ruang tersebut dengan nama Rumah Restorative Justice (Rumah RJ). Rumah RJ harus dapat menggali dan menyerap nilai nilai dan kearifan yg tumbuh dan berkembang di masyarakat secara umum tidak terikat oleh wilayah atau lapisan masyarakat tertentu,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung mengatakan, pembentukan Rumah RJ diharapkan dapat menjadi contoh untuk menghidupkan kembali peran para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum khususnya Jaksa dalam proses penegakan hukum yang berorientasikan pada keadilan subtantif.
Di samping itu, pembentukan Rumah RJ juga diharapkan menjadi suatu terobosan yang tepat, karena dalam hal ini akan menjadi sarana penyelesaian perkara diluar persidangan sebagai solusi alternatif memecahkan permasalahan penegakan hukum tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan bahwa terdapat 31 rumah Restorative Justice yang akan dilaunching, dan Jaksa Agung berharap Rumah RJ ini dapat menjadi pilot project yang nantinya dapat ditiru dan dikembangkan di wilayah lain, sehingga melalui kehadiran Rumah RJ ini, Jaksa Agung mengharapkan dapat menjadi rujukan penegak hukum untuk mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses penyelesaian perkara.
“Selain itu Rumah RJ juga saya harapkan dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman secara komprehensif tentang manfaat dari penyelesaian tindak pidana melalui konsep restorative justice,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung berharap bahwa semangat membangun Rumah RJ, janganlah terjadi hanya pada saat acara peluncurannya saja, oleh karena itu, kepada para Kajati perlu Jaksa Agung ingatkan bahwa menghadirkan keadilan subtantif pada masyarakat adalah kewajiban, tugas dan tanggungjawab bersama.
Sedangkan menghadirkan rumah RJ ditengah masyarakat adalah cara Kejaksaan mewujudkan keadilan subtantif yang diharapkan oleh masyarakat. Karena Rumah RJ adalah rumah bersama, rumah bagi para pencari keadilan, sehingga tolong dijaga, rawat dan tumbuh kembangkan eksistensinya, agar Rumah RJ dapat terus berkontribusi dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Berpijak dari tujuan dan manfaat dari dibentuknya Rumah RJ ini, Jaksa Agung meminta kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum membuat pola pengawasan dan melakukan monitoring guna memastikan Rumah RJ berjalan sebagaimana maksud dan tujuannya serta manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat para pencari keadilan.
Setelah memberikan sambutannya, Jaksa Agung juga melakukan dialog langsung secara dalam jaringan (daring/virtual) dengan masyarakat serta pimpinan daerah untuk mengetahui respon positif dari keberadaan Rumah RJ ini. Selain itu, beberapa kepala daerah sangat mendukung dan siap memfasilitasi segala kegiatan untuk kedepannya.
Dalam dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, seluruh pihak menyambut positif keberadaan kampung RJ, membangkitkan nilai-nilai komunal dan nilai luhur yang ada di dalam masyarakat, dan sangat mengapresiasi bahwa keberadaan Rumah RJ ini dapat mengembalikan kembali marwah musyawarah mufakat sebagai nilai luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Jaksa Agung berpesan agar Rumah Restorative Justice ini dapat digunakan dan dimanfaatkan bukan saja untuk kepentingan penyelesaian perkara pidana, tetapi untuk menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat baik itu perkara perdata, tanah, perkawinan ternasuk juga untuk kepentingan sosialisasi program pemerintah.
Hingga Juli 2022, Kejaksaan Agung RI telah menyelesaikan lebih dari 1.000 kasus dengan menggunakan prinsip keadilan restoratif di seluruh Indonesia. Termasuk di wilayah hukum Kejati Maluku sebanyak 28 perkara dengan jumlah terdakwa sebanyak 34 orang.
“28 perkara yang diselesaikan dengan prinsip keadilan restoratif itu terdiri dari 22 perkara Pasal 351 ayat (1), tiga perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dua perkara Lakalantas dan satu perkara Pasal 372 KUHP,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) dan Humas Kejati Maluku, Wahyudi Kareba.
Sementara itu, Henry S. Lusikooy, SH.,MH, salah satu Praktisi Hukum di Maluku, mengatakan, meskipun Perja RI Nomor 15 Tahun 2020 sedikit membatasi penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan keadilan restoratif, akan tetapi dengan adanya Perja RI Nomor 15 Tahun 2020 ini telah memberikan pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang sangat besar.
Menurutnya, konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
“Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum,” ungkapnya.
Baginya, partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi. Dalam proses acara pidana konvensional misalnya, apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana.
Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban, tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, dan tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil. Dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.
“Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil,” terangnya.
Henry menjelaskan, hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik, dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, dan sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian.
“Jadi, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? Sementara tujuan penegakan hukum itu sendiri bukanlah satu-satunya untuk menerapkan hukum pemidanaan, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil,” jelasnya.
Dengan adanya penerapan keadilan restoratif, kini lembaga pengadilan tidak lagi dipakai sebagai satu-satunya lembaga untuk menyelesaikan perkara tindak pidana. Asalkan, penerapannya di tahap penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan, dapat berjalan sesuai aturan hukum yang mengatur tentang penerapan keadilan restoratif itu sendiri.
“Intinya penerapan keadilan restoratif ini sangat positif dalam hukum pidana. Satu harapan dari saya kepada aparat penegak hukum agar keadilan restoratif ini harus benar-benar dilaksanakan untuk menghindari penumpukan perkara di pengadilan, dan jangan hakim saja yang dibebankan untuk memutus semua perkara pidana. Demikian pula dampak dari keadilan restoratif ini agar rutan dan lapas tidak mengalami over kapasitas,” harapnya. (*)