RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Ketua Dewan Pers Prof.DR.Azyumardi Azra menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait kerjasama program pertukaran informasi, sosialisasi dan edukasi untuk mencegah polarisasi saat Pemilu 2024 nanti sebagai langkah positif.
Penandatanganan MoU di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, (21/6/22), itu memberikan harapan yang baik akan tumbuhnya iklim pers yang sehat di tengah munculnya ancaman perpecahan anak bangsa akibat fenomena medsos yang mengedepankan berita atau informasi bernada hoax dan adudomba.
Mantan Kabareskrim Polri ini menyampaikan kesepakatan kerjasama ini untuk memberikan pendidikan literasi tentang pentingnya kita semua bersama-sama menjaga iklim politik yang sehat memasuki tahun politik Pilpres 2024 yang kini sudah mulai panas itu.
“Karena ke depan tantangan kita akan menjadi semakin besar. Kita butuh untuk mengurangi potensi-potensi perpecahan, dan ini selalu saya sampaikan setiap saat kita bertemu dengan seluruh elemen masyarakat,” ujarnya sebagaimana dikutip Rakyat Sulsel, (22/6/22).
Untuk menghindari polarisasi atau ancaman perpecahan itu selain mengembangkan iklim pers yang sehat, langkah utama yang harus dilakukan melalui MoU ini tentu aparat dalam hal ini Kepolisian dengan segenap kekuatannya harus lebih dulu bersikap tegas terhadap para penyebar fitnah melalui tangan-tangan buzzer.
Tentu untuk menciptakan iklim pers yang sehat pers di sini tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip profesionalisme, kode etik pers dan harus mewakili kepentingan publik.
Dalam konteks kemerdekaan pers —untuk menghindari polarisasi dari ancaman perpecahan— itu pers tentu harus memberikan peran positif.
Tapi itu tidaklah cukup.
Di tengah begitu massifnya lalulintas informasi yang demikian terbuka baik bernada hoax, agitasi, dan adudomba yang dilakukan para operator melalui tangan-tangan buzzer diperlukan tindakan dan ketegasan.
Selama ini ancaman polarisasi itu lebih banyak karena ketidaktegasan aparat kita menangani berbagai hasutan yang dilakukan oleh mereka para penyebar hoax.
Termasuk mereka para agitator dengan menciptakan kebencian antarkelompok bernada provokasi melalui simbol-simbol agama tertentu.
Selama ini seolah ada pemihakan. Terhadap mereka ini dibiarkan sebaliknya mereka yang dianggap sebagai musuh atau tidak berpihak kepada pemerintah “dihabisi” dengan stigma-stigma negatif.
Pers dalam hal ini tentu perlu menempatkan posisi sebagai pers yang merdeka di tengah menghadapi berbagai tekanan dari kelompok kepentingan dan oligarki.
Keberpihakan pers terhadap kepentingan publik tentu menjadi prioritas untuk menghindari polarisasi yang tajam di masyarakat.
Menurut Ketua Dewan Pers Prof.Azyumardi Azra, untuk menciptakan pers yang sehat tidak ada salahnya kualitas jurnalistik perlu dimaksimalkan berdasarkan pada jurnalisme yang terverifikasi.
“Bukan yang dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan jurnalistik untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan ekonomi dan lainnya,” katanya.
Mengutip LKBN Antara, di mata Bagir Manan, keperpihakan pers di Pilpers secara politik itu tidak salah karena independensi itu mengandung kebebasan untuk memilih. Tetapi karena pers maka harus tetap menjunjung tinggi prinsip pers itu sendiri.
“Tidak berpihak itu pengertian bukan netral. Kita boleh berpihak tapi dasarnya kebenaran atau objektifitas,” kata mantan ketua Dewan Pers.
Kita tahu demokrasi pers itu independen sedangkan independensi itu sendiri adalah kebebasan. Salah satu wujudnya adalah “freedom of the press” atau kebebasan pers.
“Tapi independensi pers itu ada konsekwensinya yakni pers harus kebal terhadap segala bentuk intervensi, tidak berpihak, adil dan kebenaran,” kata Bagir Manan mantan ketua Mahkamah Agung itu.
Karena itu untuk mengurangi potensi perpecahan menghadapi Pemilu 2024 nanti pers tentu berkewajibam mengawal dan mengawasi terus jalannya demokrasi agar tercipta iklim politik yang kapabel.
Agar tidak mempertajam polarisasi kita perlu tetap menjaga akal sehat dan memupuk kohesi sosial. Karena itu demi terciptanya keutuhan sosial di masyarakat kita semua tanpa kecuali pers perlu menjaga ketahanan sosial dengan menghindari penggunaan diksi-diksi yang berpotensi memecah belah anak bangsa yang selama ini masih dipakai oleh tangan-tangan tertentu.
Kita tahu semenjak Pilpres 2019 lalu polarisasi itu begitu tajam. Banyak yang berharap begitu Pilpres usai stigma itu harus berakhir. Faktanya tidak. Para operatornya masih melakukan propaganda.
Munculnya istilah kampret dan kadrun dengan penggunaan teroris, antikebhinekaan, antitoleransi, anti-Pancasila dll sebagai stigma terhadap mereka yang berlawanan secara politik masih begitu vulgar.
Saat yang sama muncul pula agitasi dan provokasi diikuti oleh penghinaan terhadap simbol-simbol agama seolah masih dibiarkan dan terkesan dipelihara.
Akankah menyambut Pilpres 2024 nanti ancaman polarisasi yang ditandai dengan fenomena berupa stigma kampret dan kadrun ataupum diksi-diksi semacam itu masih tetap berlanjut ataukah tidak? Entalah.
Yant pasti kita berharap langkah kerjasama Kapolri dan Dewan Pers ini bisa memberikan harapan positif untuk menciptakan iklim politik Pilpres 2024 nanti lebih kondusif agar kita semua anak bangsa terhindar dari ancaman polarisasi dari intrik politik yang tidak sehat.(DIB)