Sang Arsitek Gereja

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — Nama Tanjung Duma, di Kecamatan Galela Barat di utara Pulau Halmahera ini identik dengan objek wisata. Letaknya menjulur ke arah utara Danau Galela di situlah lokasi objek wisata itu berada. Namanya sempat populer tapi kini tidak lagi terurus.

Duma, begitu nama kampung itu adalah mayoritas penduduk beragama Kristen. Selain memiliki objek wisata, di kampung ini juga punya pertalian sejarah sebagai pusat masuknya Kristen di Halmahera, juga tempat dimana makam sang tokoh agama asal Belanda dimakamkan di Tanjung Duma.

Tokoh yang dihormati itu bernama Hendrik van Dijken. Dialah pembawa Pekabaran Injil pertama di Halmahera tanggal 19 April 1866 dimana Kampung Duma sebagai pusat penyebaran.

Objek wisata Tanjung Duma itu kini hanya terlihat puing-puing. Ada gazebo atau spot wisata yang ditinggal pergi oleh pengelola. Juga masih terlihat papan tanda larangan untuk tidak membuang sampah dan benda padat/cair ke dalam danau karena dapat merusak ekosistem lingkungan oleh BLH KLKH-DAK 2016. Berikut gedung pertemuan.

Untuk mengabadikan namanya dibangunlah sebuah monumen Hendrik van Dijken menuju arah masuk objek wisata itu. Di monumen ini tertulis nama, tanggal kedatangan dan tahun lahir dan kematiannya (4/1/1832-17/6/1900)

Kampung Duma sudah lama saya kenal sejak duduk di bangku SD dan Tsanawiyah. Kalau jualan ikan terbang dengan cara memanggul di bahu di atas sebilah kayu sambil berjalan kaki dari ibukota kecamatan Soasio saya harus melewati kampung ini.

Untuk menarik perhatian dari para pembeli kita harus berteriak di sepanjang kampung menggunakan bahasa Galela: “Nao! Nao! Nao!” Artinya: Ikan! Ikan! Ikan!” Ketika pembeli datang barulah terjadi transaksi.

Untuk mengitari Danau Galela harus kita lewati kampung-kampung di bibir danau itu. Termasuk Desa Duma yang diapit oleh Desa Kira dan Desa Gotalamo.

Sebelum Hendrik van Dijken menetap di Duma — kampung ini dulunya bernama Morodoku (Kampung Moro). Karena kesenangan bercocok tanam sebagai petani tembakau, Hendrik van Dijken yang sebelumnya menetap di pesisir pantai di ibukota Kecamatan Galela bernama Soasio memilih migrasi ke wilayah pedalaman tepatnya di Kampung Duma.

Saat di Duma ia mendapat tantangan dari penduduk setempat dengan tuan tanah yang ditakuti karena kejam bernama Tomadoa. Meski mendapat ancaman pembunuhan Hendrik van Dijken bergeming. Ia tak diapa-apakan oleh Tomadoa dan tetap memilih bercocok tanam tembakau.

Hingga tiba suatu waktu terjadi hujan lebat dan banjir akibat luapan air dari Danau Galela dan membuat beberapa kampung tenggelam sementara Hendrik van Dijken terhindar dari bencana. Selamat dari luapan air. Pun selamat dari pembunuhan.

Karena terhindar dari dua ancaman itulah muncul ungkapan: Duma Una Wido Ohawa. Artinya cuma dia (Hendrik Van Dijken) yang tidak diapa-apakan. Sejak itu Hendrik van Dijken diakui ketokohannya.

Ungkapan memakai bahasa Galela yang digunakan warga ini oleh Hendrik van Dijken kemudian mengganti kata Duma dengan makna baru dalam bahasa agamanya yang berarti “teduh”. Duma di sini bisa dimaknai sebagai lokasi yang teduh dari sebelumnya yang dianggap menakutkan.

Memasuki Tanjung Duma kita bisa melihat di sayap kanan jalan berdiri kokoh Gereja Duma. Sementara di sebelah kiri jalan ada tanda petunjuk makam Hendrik van Dijken dan istrinya Maria Sumpiet.

Sejak konflik sosial 1999 Kampung Duma termasuk yang kena imbas. Selain rumah-rumah penduduk juga rumah ibadah ikut menjadi sasaran. Salah satunya Gereja Duma itu.

Saya memang baru saja kembali dari sana mendatangi kampung ini 19 Mei 2022. Kebetulan usai melihat-lihat tempat wisata Tanjung Bongo dilanjutkan mengelilingi Danau Galela dan Tanjung Duma. Untuk mengitari danau terbesar di Pulau Halmahera sekitar 16 Km itu kita harus lewati beberapa kampung di bibir danau tersebut.

Pasca konflik Gereja Duma kini telah dibangun kembali. Bagus sekali. Baik warnanya. Juga ornamennya. Di sepanjang jalan selain aspal yang mulus rumah-rumah penduduk dan rumah ibadah sudah jauh lebih bagus dari sebelumnya.

Meski dulu kampung ini sering saya lewati namun kisah tentang Hendrik van Dijken baru saya tahu dari catatan yang tertulis di monumen yang terletak di jalan masuk Tanjung Duma yang menghadap Gunung Tarakani itu.

Dari sinilah mengalir cerita soal Duma dan tokoh Hendrik van Dijken berikut kisah soal Gereja Duma. Dari informasi yang didapat dari adik saya saat mengendarai mobil pribadinya itu diketahui sang arsitek Gereja Duma yang dibangun pasca konflik 2004 ini tak lain adalah kakak sepupu saya.

Ia seorang insinyur jebolan Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado tahun 1991. Namanya Ir.Syachril Marsaoly. Sehari-hari kami memanggilnya Ko Il.

Putera asal Tidore dari Kampung Tomalou ini masih memiliki garis keturunan dari ibu saya yang moyang perempuannya dipanggil Datuk Ambon berasal dari Tulehu bernama Sitti Iman Sarlata itu. Yang suaminya dikenal sebagai pelaut/nelayan asal Tomalou bernama Jamaluddin Marsaoly itu.

Untuk memastikan kalau kakak sepupu saya itu arsitek Gereja Duma saya pun mencoba mengkonfirmasinya. Usai dari lawatan di Galela setelah berziarah ke makam nenek kami Saira Marsaoly di Galela dan makam allahumayarham guru dan orang tua angkat ayah saya di Pekuburan Gura Tobelo, saya kemudian kembali ke Ternate menemui sang arsitek di kediaman di Kompleks Pohon Pala itu.

Dari penuturannya ia mengakui kalau dirinya yang membuat gambar gereja tersebut. Lantas dari mana ia bisa datang ke Galela hingga ke Desa Duma?

Ia mengaku saat itu tahun 2004 pernah masuk dalam Tim Rekonsiliasi dan Perbaikan Infrastruktur Pasca Konflik Pemda Provinsi Maluku Utara. Jadi, rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah ibadah baik masjid maupun gereja yang terbakar dan rusak mereka data.

Tidak saja di Galela tapi semua rumah penduduk dan rumah ibadah korban konflik di daratan Pulau Halmahera mereka datangi untuk dibangun dari anggaran pemerintah pusat baik melalui Dana Inpres maupun Dana Bantuan Sosial (Bansos).

Saat pendataan itulah warga Duma merancang pembangunan gereja. “Dong (mereka) bilang mau bangun gereja. Saya bilang mari kasih dena lokasi supaya saya gambar bangunannya,” ujar mantan anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dua periode 2009-2019 dari Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Sejak itulah pembangunan Gereja Duma dimulai dan berdiri kokoh hingga kini.

Ternyata bukan saja Gereja Duma. Masjid Agung Al-Amin nan indah yang ada di ibukota Kabupaten Halmahera Utara Tobelo itu juga dialah perancangnya.

“Jadi selain Gereja Duma di Galela, Masjid Agung Al-Amin Tobelo juga saya arsiteknya. Saat itu saya masih berada dalam tim konsultan yang sama. Yakni Tim Rekonsiliasi dan Perbaikan Infrastruktur Pasca Konflik Pemda Provinsi Maluku Utara,” ujar suami dari Wiwiek Lantong, itu.

Selama empat tahun pria kelahiran Tomalou, 16 Juni 1969 yang kini menjadi salah satu wakil ketua Partai Gerindra Provinsi Maluku Utara ini masuk dalam tim konsultan. “Profesi konsultan saat itu masih langka. Karena itu sayalah yang dipercaya oleh Pemda Provinsi Maluku Utara masuk dalam tim ini,” ujarnya.

Walau tak lagi menjadi anggota dewan namun profesi sebagai konsultan tetap dijalani oleh ayah beranak dua dari hasil perkawinan dengan wanita asal Kotamobagu, Sulawesi Utara, bernama Wiwiek Lantong itu.

Kedua anaknya itu adalah Rakhmat Putera Marsaoly alumni Universitas Gajah Mada (UGM) kini bekerja di Bappenas, dan Nadya Safira Marsaoly saat ini memasuki semester akhir pada Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) Jogya. Rupanya bakat sebagai konsultan bakal mengalir ke anak perempuannya ini.

Setelah sembilan tahun berlalu kunjungan saya kali ini ke Halmahera Utara melihat begitu banyak perubahan.

Di Tobelo, misalnya, selain berdiri rumah ibadah yang indah, di kota ini juga banyak tumbuh pusat-pusat perdagangan pasar, mall, dan sentra-sentra perkenomian baru.

Pun di Galela juga tumbuh gerai-gerai baru seperti Alfamidi dan Indomaret. Munculnya retail-retail di Desa Dokulamo, Soatabaru, Igobula, Soasio, dan beberapa desa lainnya di kaki gunung Tarakani di utara Pulau Halmahera, ini seolah menyulap segalanya.

Keberadaan gerai yang fenomenal itu memperlihatkan sebuah “kelas” baru masyarakat dari sektor ekonomi sekaligus mengubah gaya hidup masyarakat kita.

Dari sektor retail ini ternyata tak saja merasuk kelas menengah perkotaan, tapi juga telah merambah hingga pedalaman.

Ternyata bukan saja infrastruktur jalan dan jembatan yang mulus. Di sepanjang lintasan berjarak 227 Km di Pulau Halmahera dari Sofifi hingga Danau Galela tampak rumah-rumah ibadah baik masjid maupun gereja terlihat indah.

Dimulai dari Masjid Raya Shaf Khairaat di ibukota Provinsi Maluku Utara Sofifi hingga Kampung Duma rumah-rumah Tuhan itu begitu bagus. Begitu menarik.

Di Kampung Soakonora, misalnya. Terlihat Masjid Baitul Makmur yang elok. Nama mesjid ini pernah menjadi tempat kegiatan dakwah Ustad Abdul Somad (UAS) dan Habib Rifqi Alhamid (HRA) September 2021 lalu.

Di sebelah Baitul Makmur yang dibatasi lapangan bola kaki hanya dalam selemparan tampak pula Gereja Bukit Sion juga megah.

Pun masjid di Desa Pune, Desa Togawa, Igobula idom ditto. Sama saja. Indah. Juga gereja di Desa Soatabaru tampak kokoh dengan ornamen yang menarik.

Begitulah fenomena di utara Pulau Halmahera dengan segala keunikan alam dan manusianya. Baik objek wisatanya maupun hubungan lintas agama begitu hidup. Semoga ini menjadi langkah yang baik untuk menjaga kerukunan dan semangat toleransi antarkomunitas nun di utara Pulau Halmahera itu.(DIB)

  • Bagikan