Demokrasi 2024

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Kita baru saja menyaksikan sebuah perhelatan politik yang dilakoni Partai Nasdem yang telah mencalonkan tiga kandidat Capres 2024 dalam Rakernas 2022, Jumat, (17/6/22).

Dan semua sudah tahu nama ketiga Capres itu: Anis Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Andika Perkasa (Panglima TNI) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jabar).

Banyak pengamat juga sudah banyak yang membuat analisa. Bahkan mereka menilai ketiga calon ini bakal memiliki tantangan terkait soliditas dukungan, komunikasi politik, dan elektabilitas.

Lama tak lagi mewawancarai dan baru kali ini saya mencoba meminta tanggapan Dosen Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon DR.Amir Kotaromalus rasanya banyak hal menarik yang bisa ditangkap dari konfigurasi politik Capres 2024 ini, Minggu, (19/6/22).

Dalam konteks politik, kata Amir Kotaromalus, fenomena pencapresan sebagaimana yang diajukan dalam Rakernas Nasdem itu kelak bisa berjalan sehat bila saja dukungan dan soliditas terhadap calon-calon pemimpin yang diajukannya tersebut dilakukan tanpa harus ada pembajakan demokrasi terhadap figur yang dijagokannya itu. Bukan sosok yang hanya mengandalkan popularitas. Apalagi figur-figuran segala.

Fenomena ini memang bukan rahasia umum bila saja elite politik kita melihat politik bukan sekadar ajang untuk mencari popularitas. Sebab politik dalam arti luas memiliki prinsip, nilai, dan azas terkait hidup dan kehidupan manusia.

Dan, yang dikemas dalam demokrasi itu tidak lain semuanya bermuara pada politik kesejahteraan baik sandang, pangan, dan pendidikan.

Itulah mengapa sosok pemimpin yang dipilih nanti haruslah benar-benar bermuara pada kehendak rakyat bukan melalui kepentingan para elite politik dan tangan-tangan oligarki.

Di tengah munculnya fenomena politik transaksional yang dialami bangsa ini selama beberapa tahun terakhir membuat demokrasi kita telah dibajak oleh elite-elite politik.

Sistem politik presidential threshold itu, kata dia, sangat berpotensi untuk pemangkasan hak-hak rakyat. Demokrasi rakyat dikekang. Demokrasi berbiaya tinggi itu membuat rakyat tidak berdaya dalam memilih pemimpin berkualitas.

Karena dibatasi hak-hak untuk memilih orang-orang terbaik apalagi di belakangnya yang menggerakkan adalah para oligarki itu. Sebaliknya, jika pemimpin itu punya kemampuan dan kapasitas tapi tidak punya akses, jaringan, dan didukung oleh finansial yang kuat otomatis tidak bisa terpilih.

Diikuti oleh kepentingan para oligarki itulah membuat kita kehilangan sosok pemimpin yang benar-benar menjalankan tugas dan pengabdiannya sesuai prinsip, nilai, dan azas-azas demokrasi.

Munculnya fenomena buzzer dan berita hoax sebagai ajang agitasi atau propaganda yang telah mewarnai konstelasi politik beberapa tahun terakhir ikut pula membuat runyam dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Dan kita pun seolah kehilangan figur atas sosok pemimpin yang kuat karena telah dibajak oleh elite politik melalui tangan-tangan oligarki itu.

Bagi DR.Amir Kotaromalus, seorang pemimpin begitu ia terpilih maka ia wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang dipimpinnya.

Siapa pun pemimpinnya ia wajib menegakkan prinsip dasar demokrasi, tanpa ada diskriminasi dalam menegakkan hukum dan aturan termasuk terhadap minoritas sekalipun.

“Begitu terpilih, ia harus menegakkan amanah itu. Mengatur kekuasaan, menjalankan regulasi atau aturan untuk kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya,” ujarnya.

Bagaimana agar kita bisa mendapatkan pemimpin yang hebat itu? Dalam azas demokrasi elektoral, kata Amir Kotaromalus, rakyat punya kuasa untuk memilih sosok pemimpinnya itu. Itulah mengapa rakyat kita sejak awal harus diberi pemahaman dan punya kecerdasan dalam memilih pemimpin.

Mereka harus diajari, dibekali pengetahuan, dan harus punya kesadaran politik yang kuat, tidak mudah terpengaruh oleh politik transaksional melalui tangan-tangan para elite politik dan oligarki.

Perlu ada pendidikan politik di masyarakat kita. Kita harus ubah mindset dari tadinya masyarakat politik parokial (sempit) menuju masyarakat yang partisipatif. Di sinilah peran elite-elite partai. Mereka ini harus membina para konstituennya.

Partai politik tentu tidak boleh harap gampang. Selama ini mana ada sekolah pendidikan dari partai. Kader-kader partai yang direkrut itu bukan binaan mereka. Mereka para kader itu hasil didikan selama mereka menjadi mahasiswa atau aktivis OKP.

“Jadi kader-kader politik kita saat ini bukan binaan elite partai politik. Dibanding Inggris dan Amerika kita kalah jauh. Mereka pada tahun 1800-an sudah punya sekolah pendidikan partai,” ujarnya.

Problem kita saat ini karena politik Indonesia sedang dalam konsolidasi dari politik parokial ke politik partisipatif. Mestinya di tengah konsolidasi menuju politik partisipatif itu rakyat kita dibekali politik yang sehat, bukan untuk dimobilisir apalagi dengan cara-cara hoax, agitasi dan adu-domba melalui tangan para buzzer.

Bagi Amir Kotaromalus, penggunaan buzzer dalam politik sangat positif sepanjang hal itu dilakukan untuk tujuan-tujuan positif. Misalnya menyampaikan informasi positif yang berkaitan dengan sosialisasi program pembangunan, dan bekerjanya elemen-elemen masyarakat.

Buzzer dicap negatif bilamana teknologi komunikasi itu digunakan untuk agitasi atau propaganda.

Bagaimana menyongsong Pilpres 2024 apakah fenomena buzzer dan politik identitas masih tetap mewarnai sistem politik kita? Yang pasti fenomena buzzer serta hoax ini sudah ada sejak awal zaman Romawi dulu yang dilakoni oleh Cicero dan Caterine.

“Fenomena buzzer dalam politik itu sudah ada di zaman Romawi. Bukan baru sekarang. Untuk memprovokasi lawan politik tak ada cara lain kecuali memanfaatkan buzzer atau menciptakan fitnah melalui berita hoax sebagaimana pernah dilakoni Cicero dan Caterine,” ujarnya.

Apakah Pilpres 2024 ditandai dengan pencalonan Capres yang telah diajukan Partai Nasdem ini bakal mewarnai fenomena munculnya buzzer dan hoax atas ketiga kandidat itu? Entalah.

Tapi, mengacu kepada pendapat akademisi Unpatti ini kita bisa berasumsi bahwa selagi politik berbiaya tinggi diikuti oleh permainan oligarki dalam sistem presidential threshold — tentu kita akan sulit mendapatkan sosok pemimpin yang kuat dan berkarakter.(DIB)

  • Bagikan