RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Dalam suatu kajian DR.Didin Baharudin pernah menyoal masalah flexing. Jika ditranslate ke dalam bahasa Indonesia flexing artinya pamer.
Menurut dosen IAIN Ambon itu, fenomena flexing ini berkembang seiring kemajuan teknologi komunikasi ditandai oleh munculnya sarana digitalisasi dan smartphone.
Kajian yang dilakukan kelompok anak muda Hijrahokmain Kota Ambon ini merupakan rangkaian dari kegiatan rutin setiap 10 hari terakhir Ramadan yang diprakarsai dai muda jebolan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ustad M.Hatta Ingratubun, Lc, di Masjid Al-Kautsar, Ambon.
Gejala pamer ini oleh dosen IAIN ini diakui telah merasuki semua lapisan masyarakat di tengah munculnya beragam aplikasi internet itu.
Diikuti kemudahan memanfaatkan aplikasi pada handphone itulah membuat orang dengan mudah melakukan flexing.
Fenomena ini tidak saja menimbulkan rasa
ingin untuk mengubah diri kita menjadi seperti orang lain, tapi juga memicu timbulnya rasa tidak nyaman atau apa yang disebut insecure.
Insecure dalam kamus Oxord Dictionary diartikan: “Bot confident about your self with other people” atau merasa tidak percaya diri atau tidak aman bersama orang lain.
Perasaan tidak aman (insecure) membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri.
Adapun beberapa hal yang menjadi faktor pemicu munculnya insecure, salah satunya adalah penggunaan sosial media yang
terasa ‘toxic’.
Terkadang, ada keinginan untuk memiliki sesuatu yang tidak ada di diri kita. Lebih parah lagi bila sampai merasa tidak cukup dengan yang dimiliki saat ini.
Semua hal ini dapat menjadi beban pikiran dan berujung pada munculnya apa yang disebut dengan istilah overthinking. Sebenarnya, dampak dari flexing hingga melahirkan sikap insecure merupakan sifat wajar yang dimiliki manusia.
Dalam konteks marketing, flexing sendiri bisa juga menjadi bagian dari strategi pemasaran. Ia tidak cukup hanya ingin mengubah gaya hidup, tapi flexing juga oleh pakar management dan pemasaran Prof. Rhenald Kasali bisa menjadi bagian dari cara kita untuk menarik perhatian pelanggan.
“Banyak content creator yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan ini sebagai konten di laman media sosialnya. Yakni dengan menunjukkan barang branded hingga rumah mewah,” ujar Rhenald Kasali melalui akun Youtube.
Sesungguhnya tujuan seseorang melakukan flexing bisa bermacam-macam. Misalnya untuk kepentingan endorsement, menunjukkan kredibilitas atas suatu kemampuan untuk mendapatkan pasangan yang kaya.
Perilaku flexing juga tidak semata-mata sebagai bentuk pencitraan diri, melainkan juga bisa dibuat sebagai alat marketing perusahaan.
Saat ini setiap kita mulai dari anak-anak hingga dewasa telah menggunakan gadget (smartphone) dan memiliki sosial media baik instagram, facebook, whatsapp dll.
Media sosial kini telah menjadi “wasilah” atau perantara untuk berbagi momen. Fenomena ini sekaligus menunjukkan eksistensi diri kita melakukan flexing atas apa yang dimilikinya, baik itu pencapaian kerja, harta, keluarga, makanan yang disantap, maupun tempat wisata yang dikunjungi.
“Tanpa disadari fenomena itu membuat pikiran kita terpapah secara otomatis untuk membanding-bandingkan diri kita dengan visualisasi kehidupan orang lain,” ujar Dr.Didin.
Mengutip Ratih Ibrahim MM, Psikolog Klinis & CEO Personal Growth sebagaimana ditulis
Linda Hasibuan dari CNBC Indonesia mengatakan, kebahagiaan yang kerap dimaknai manusia umumnya selalu bersumber dari hal-hal yang bersifat materialistik.
Namun hal tersebut ternyata bukanlah sumber kebahagiaan yang utama.
Kebahagiaan yang sesungguhnya datang dari bagaimana manusia memaknai hidup dan nilai-nilai yang di junjung, serta mengupayakannya dalam keseharian. Kebahagiaan memang bisa saja hadir dari prestasi akademis, kemapanan finansial, atau jabatan.
“Tidak hanya itu, temuan lain juga menunjukkan bahwa kebahagiaan yang nyata adalah ketika mendapatkan relasi sosial, bisa silaturahmi, relasi harmonis antara suami istri, dan keluarga,” ungkap Ratih Ibrahim.
Fenomena flexing ini telah membuat kehidupan mereka (orang-orang di sosial media) ‘lebih’ bahagia, lebih sempurna, lebih keren dan terlihat baik-baik saja hingga membuat kita ingin mengubah diri kita menjadi seperti orang lain. Inilah yang kemudian memicu rasa tidak nyaman atau apa yang disebut dengan istilah insecure.
Allah SWT telah mengingatkan kita janganlah menghitung-hitung nikmatNya, sebab jika dihitung berapapun nilainya niscaya kita tak akan sanggup menghitungnya.
Karena itu jadilah hamba yang selalu bersyukur. Sebab dengan bersyukur akan berbuah kebaikan. Sebaliknya barang siapa yang tidak bersyukur, boleh jadi kita termasuk orang yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah kufur nikmat.
Dari kacamata ini menuntut kita haruslah selalu bersyukur jika kita tidak ingin melihat flexing sebagai bagian dari ajang pamer semata. Dengan selalu merasa bersyukur kita tentu akan terhindar dari sikap insecure atau rasa tidak cukup.
Flexing dalam arti luas mestinya membuat kita untuk selalu bersikap menerima apa adanya atau dalam bahasa agama disebut qana’a. Bukan sebaliknya merasa tidak cukup. Apalagi menjadikan sebagai ajang untuk membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain segala.
Agar kita tidak dinilai berlebihan dalam konteks flexing kita tentu harus senantiasa melihat ke bawah dalam arti selalu merasa puas. Sebab semua pencapaian itu tentu tidak lepas dari ketetapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan memiliki sikap syukur itulah niscaya kita menjadi orang yang paling kaya. Minimal kaya hati.(DIB)