Aktor Program Penggerak; Kebutuhan atau Kebuntuan?

  • Bagikan
Foto : Ode Abdurrachman. Ketua IGI Maluku. (Pelatih Ahli dan Narasumber Kurikulum Sekolah penggerak)

Oleh : Ode Abdurrachman

Ketua IGI Maluku. (Pelatih Ahli dan Narasumber Kurikulum Sekolah penggerak)

RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — AMBON, — Alur perubahan kurikulum ‘lawas’ ke kurikulum Merdeka di dunia pendidikan, mengikuti trend bisnis saat ini, meski dunia pendidikan bukan dunia bisnis namun ekosistem yang berlaku pada hukum permintaan dan penawaran terjadi juga di dunia pendidikan.

Harus diakui, gubahan Sang desainer kurikulum yakni mas mentri Nadiem yg pernah menahkodai bisnis Gojek, bersama timnya hadir memberi resep baru dari hulu hingga hilir, mirip ekosistem gojek, yang menurut saya tetap membaca peluang dan tantangan dengan teori supplay and demand.

Dengan membaca data permintaan pasar nasional dan kebutuhan global saat ini, secara kontekstual, terjadi pergesaran paradigma dari analog ke digital, lemahnya literasi, numerasi sebagaimana hasil survey PISSA, maka dirancanglah Perencanaan berbasis data tersebut dan kemudian merencanakan sebuah kolaborasi aktor penggerak, demi permintaan pasar (baca; abad 21).

Aktor pertama secara kolosal, melibatkan unsur NGO di dalamnya, dan inilah terobosan pertama sejak Indonesia Merdeka, ‘lelang’ secara terbuka mengajak organisasi guru dan NGO lain, masuk terlibat di Program Organisasi penggerak (POP.), didukung pengalaman dan jaringan internal organisasi, dan dukungan dinas pendidikan daerah, terlapor dalam sistem data dan teknologi kini berbagai organ penggerak ini sedang terlibat aktif menggerakkan guru dan sekolah pada kelompok sasaran di berbagai daerah termasuk daerah3T.

Tidak heran mas mentri mula-mula melibatkan para aktor Program Organisasi Penggerak ini, dikarenakan berbagai organ ini sudah mendahului bergerak mandiri yang awalnya organisasi massa dan NGO ini terlibat juga tapi lebih ekslusif, dan atas prestasi dan kesuksesannya digunakan untuk ‘cek ombak’ kulitas organ penggerak yang selama ini bergerak mandiri, namun kali ini pesan khusus bagi NGO, dan orprot fokus pada fasilitasi dan treatmen aspek literasi, numerasi, dan karakter.

Caranya seleksi terbuka, dan terpilih organisasi guru di antaranya Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan NGO lainnya, sedang PGRI dan beberapa lainnya memilih mundur dengan alasan, kalo mau dilibatkan tak perlu seleksi?

Apakah hanya aktor ini, tentu tidak berhenti di sini, pelibatan NGO saja tidak cukup, butuh aktor utama yang mrnjadi penggeraknya sendiri yakni Guru itu sendiri, direkrutlah guru-guru yang bukan asal ditunjuk tapi yg mau menawarkan diri untuk menjadi pnggerak perubahan, secara bertahap, dan sudah direkrut lebih dari 7.500, guru penggerak selama tahun 2021 hingga kini sudah 8 angkatan guru dengan target 21.000 guru yang dilatih khusus dan berdampak dan dikondisikan bagaimana menggerakkan komunitas secara mandiri, kolaboratif dan menjadi solusi perubahan, mereka dilatih 9 bulan di angkatan pertama dan angaktan berikutnya 6 bulan untk menjadi agen perubahan dan menjadi duta penggerak bagi teman seprofesi.

Kegiatan mereka didampingi oleh para aktor yang disebut fasilitator. Mereka ini di antaranya guru juga yang menawarkan diri dan merasa lebih bisa menjadi pendamping guru sebayanya, kini aktor ini berganti nama menjadi pengajar praktik, mereka juga terseleksi dan tidak asal direkrut, seleksinya cukup ketat, kehadiran mereka untuk mengawal para guru ketika saling berbagi praktik baik dengan sistem pelaporan yang terkendali dan sistemik.

Setelah guru dilatih menjadi aktor penggerak bersamaan dibukalah program sekolah penggerak (PSP) yang direkut dan menjadi aktor utama adalah kepala sekolah, atau sebutan lain kepala sekolah penggerak yang mewakili sekolahnya dan otomatis sekolahnya akan menjadi pilot project rintisan sekolah yang menerapkan kurikulum baru, saat itu dikenal dengan nama kurikulum prototype, seterusnya dilabeli kurikulum merdeka dan hanya berlaku di sekolah penggerak.

Sekolah yang terseleksi masuk adalah sekolah yang menawarkan diri atas pengajuan kepala sekolah dan di dukung oleh komite pembelajaran, yakni perwakilan guru yang mendampingi kepsek dalam menyukseskan kurikulum merdeka. Kepsek yang terlibat adalah kepsek dari kalangan TK/PAUD/KB, SD SMP dan SMA sementara SMK masuk pada program unggulan yakni PK, yang liner dengan dunia usaha dan dunia industri. Program ini didanai pembiayaan khusus yakni pembiayaan afirmasi minimal setahun hingga tahun ke 3.

Bagi sekolah yang mau melaksanakan kurikulum merdeka dipersilahkan untuk siap beradaptasi mandiri dan mengajukan diri jika siap melaksanakan hanya saja tidak dibiayai dan jika tidak siap boleh memilih K13 atau kurikulum mandiri.

Aktor yang memantau dan memfasilitasi Sekolah Penggerak adalah Pelatih Ahli yg kini berganti nama menjadi fasilitator Sekolah penggerak, terdiri dari praktisi, dosen, guru prestasi, pengawas bahkan pensiunan yang sukarela memantau kegiatan best practice, coaching, penguatan kapasitas guru, menemukan solusi promblem manajemen sekolah hingga ke pelaksanaan project profil pelajar pancasila.

Selain fasilitator SP ada juga aktor lain yang terlibat seperti para ahli sebagai instruktur, Nara Sumber, tim coaching, fasilitator trainer dan admin yg dilibatkan mendukung ekosistem kepelatihanan.

Kalo yang mengerti alur bisnis gojek, dan siapa saja aktor yang terlibat dan saling terkait dalam ekosistem ini, dalam alur permintaan penawaran lingkup pendidikan, anda akan paham siapa saja aktor dan peran apa saja yang akan terlibat menggerakkan pendidikan secara nasional dan di daerah. jika belum terlibat maka prakirakan potensi dan peluang yang akan terlibat menjadi kebutuhan atau kebuntuan.

Terakhir tentu akan ada aktor pengawas sekolah/penilik yang wajib menjadi aktor penghubung atau katalis perubahan di sekolah, para pengawas ini sudah juga terlibat dan mendaftar secara mandiri atau sistemik untuk menyamakan persepsi serta mengawal transformasi pendidikan di sekolah dengan paradigma yg saat ini berkembang di guru penggerak, sekolah penggerak.

Bagaimana dengan aktor pemerintah daerah atau pengampu kepentingan di level pengambil kebijakan daerah?, kemendikbud sebelumnya melalui LPMP telah ‘merayu’ bupati dan walikota terlibat terlibat mendukung secara masif baik secara kebijakan, peran dan fungsi termasuk anggaran, namun karena perannya yg luas, kebijakan ini sampai saat ini hanya mengiyakan, aliran dana dukungan sekolah penggerak sampai saat ini nihil dan tidak terealisasi.

Maka agar tidak jomplang, butuh kesamaan cara pandang dan pemahaman bagaimana paradigma, dan tujuan pendidikan nasional diterjemahkan dalam berbagai aktivitas keprofesian, sayangnya internal di pengawas saja semisal jumlah pengawas yang terlibat masih belum memenuhi target, karena di samping kekurangan pengawas juga arena faktor usia atau lambat beradaptasi dengan penerapan teknologi dalam jaringan dan platform digital, solusi mungkin menanti rekrutmen aktor pengawas tambahan, andakah yang dicari menjadi aktornya?

Untuk mengcover seluruh aktivitas organisasi penggerak, guru Penggerak, Sekolah penggerak, Pengawas Penggerak, dibentuklah Badan khusus di 27 wilayah se Indonesia dengan nama Balai Guru Penggerak, yang menjadi rumah bersama dalam koordinasi, konsolidasi serta mendukung program peningkatan mutu PTK menjadi katalis bagi pemda dan aktivitas keprofesian utamanya guru di daerah.

Sementara lembaga Penjamin Mutu Pendidikan yg kita kenal LPMP saat ini dilebur menjadi Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) dengan tugas dan kewenangan yang sama dengan LPMP terdahulu di daerah.

Setelah semua ekosistem dan aktor ini bersamaan bergerak, kita sebenarnya menanti goodwill perguruan tinggi atau universitas yang secara mandiri atau sistemik, menyiapkan aktor dosen penggerak atau tenaga pengajarnya di fakultas keguruan dan Tarbiyah (PTKIN) yang mencetak calon guru, untuk merevisi kurikulum perguruan Tinggi sejalan dengan perubahan paradigma baru, kurikulum yang berlaku saat ini, terutama adaptif terhadap perkembangan zaman dan teknologi abad 21.

Sebab jika perguruan tinggi tidak siap menghadapi perubahan ini, lulusan perguruan tinggi yang melahirkan calon guru akan tertinggal dan lulusan fress graduate yang akan bergabung di dunia profesi guru, akan mengalami shock culture, tidak siap bergabung ke sekolah dengan adaptasi kurikulum baru dan hingga nengalami hambatan menyiapkan peserta didik ke era generasi emas 2045.

Memang sudah ada Pendidikan Profesi Guru, yang sudah ditangani beberapa LPTK atau perguruan tinggi, hanya saja selama 2 tahun terakhir hanya berjalan daring atau hybrid, tentu tidak maksimal, di tambah lagi akan ada lulusan mahasiswa reguler yang akan terjun dan berkompetisi masuk ke dunia guru juga membludak. Apalagi sarjana pencetak guru bukan saja fakultas keguruan tapi juga fakuktas Tarbiyah dari PTAIN tapi juga Sekolah Tinggi Swasta pencetak guru.

Olehnya itu kita berharap akan ada supervisi kurikukum yang adaptif juga yg berlaku di perguruan tinggi yang mendukung perubahan kurikulum pendidikan nasional, melakukan penyamaan persepsi bagi dosen dosen di fakultas keguruan atas dukungan kurikulum kekinian dengan kurikulum paradigma baru, di samping anjuran bagi riset-riset mahasiswa dan dosen di PT yang mengarah pada asesmen kurikulum, serta implementasi literasi, numerasi juga karakter profil pelajar pancasila yang linier antara sekolah dan Perguruan Tinggi.

Berharap selain menyiapkan aktor Dosen Penggerak akan ada dukungan bagi penyelenggaraan Both camp atau penyegeran bagi para dosen di fakultas keguruan atau Tarbiyah atau dosen yang mengajar pada fakultas pencetak calon guru untuk mendukung program kurikulum merdeka, dengan menyiapkan mahasiswa dengan kurikulum baru sebelum melakukan pengabdian atau KKN ke sekolah.

Sebagaimana jalinan kerjasama kemendikbud dengan NGO yang fokus ke peningkatan mutu guru maka PTN juga harus mebuka diri berkolaborasi dengan organisasi guru untuk dilibatkan dalam riset-riset dan kolaborasi pengabdian masyarakat, sebab organisasi gurulah yang sangat paham apa yang terjadi di dunia guru dan secara kolektif mampu memfasilitasi berbagai program peningkatan mutu guru secara mandiri.

Inilah kebutuhan kekinian di dunia pendidikan yang jarang terungkap karena selama ini aktor-aktor yang berperan aktif dalam dunia pendidikan, utamanya guru, yang aktif di sekolah dan bergerak dan menggerakkan komunitasnya seakan berada di luar ekosistem yang tidak saling mendukung. Kehadiran platform digital dan media sosial, ekosistem ini lebih mudah terhubung dan terfasilitasi.

Bagi saya, terobosan mantan bos GoJek yang mapan dalam dunia bisnis, meniru siklus ekosistem hukum penawaran dan permintaan, dimodifikasi dalam peran aktor aktor yang mendukung penggerak perubahan dalam ekosistem pendidikan, secata otomasi dengan bantuan platform digital akan telihat aktor siapa dan kenapa tidak terlibat atau tentu makin kentara kontribusi positif atau negatif atau malah jalan buntu bagi penggerak?

Semoga anda dan saya menjadi salah satu aktor perubahan di dalamnya.

  • Bagikan

Exit mobile version