RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — BULA — Pembagian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2022 di desa Utta Kecamatan Kesui Watubela, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) berakhir ricuh. Warga ngamuk dalam gedung balai desa saat rapat pembagian BLT baru dimulai.
Dari informasi yang diterima media ini menyebutkan kericuhan tersebut terjadi pada Senin, 23 Mei 2022. Hal ini dipicu karena penolakan warga atas pembagian BLT oleh pemerintah desa setempat.
Alasannya, BLT yang akan dibagi merupakan anggaran Dana Desa (DD) tahun 2022. Warga menolak menerima karena ada tunggakan BLT di tahun 2020 yang hingga kini belum dibagikan pihak desa.
Selain menolak pembagian BLT, kericuhan juga terjadi karena ketidakhadiran kepala desa dan bendahara dalam rapat tersebut. Warga berharap keduanya bisa hadir untuk menjelaskan kemana dana BLT tahun 2020 yang belum diberikan.
Dari data yang diterima, sebanyak tiga bulan BLT di tahun 2020 yang belum diberikan. Tiga bulan itu yakni Oktober, November dan Desember. Setiap penerima wajib diberikan Rp.300.000 untuk setiap bulan. Dari tiga itu, satu warga berhak menerima Rp 900.000.
Sementara jumlah warga Utta yang berhak menerima BLT sebanyak 111 kepala keluarga (KK). Bila ditotalkan dana yang belum di berikan pemerintah desa sebesar, Rp.99.900.000 hampir mencapai seratus juta rupiah.
Pada rapat pembagian BLT tahun 2021 lalu, warga sempat mempertanyakan sisa dana tahun 2020 yang belum diberikan, namun saat itu sekretaris dan bendahara desa yang hadir memimpin rapat tidak bisa memberikan jawaban. Keduanya hanya menyarankan agar warga menanyakan langsung kepada sang kepala desa yang kala itu berada di Kota Bula.
Mereka menduga kades tidak pernah hadiri setiap rapat desa lantaran tidak bisa menjelaskan tentang pengelolaan dana desa di desa Utta yang dinilai tidak transparan terutama mempertanggungjawabkan BLT tiga bulan yang dituntut warga.
Penolakan yang berakhir dengan kericuhan itu sempat dilerai sejumlah aparat keamanan dari TNI maupun polri yang hadir dalam rapat tersebut.
Salah satu tokoh masyarakat desa Utta, H. Mochtar Sandy Derlauw mengaku, prihatin melihat kericuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat imbas dari pembagian bantuan. Menurutnya, hal itu tidak boleh dibiarkan terjadi. Sebab, dapat memicu konflik antar sesama warga.
Mochtar mengaku, kericuhan bisa terjadi karena pemerintah desa terutama kepala desa tidak pernah transparan dalam pengelolaan dan penggunaan Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD) di desa Utta.
“Saya turut prihatin atas kejadian pembagian dana BLT dan penggunaan DD dan ADD yang tidak transparan sehingga menimbulkan keributan warga,”katanya lewat pesan singkat saat menghubungi media ini pada Rabu, (25/5/22).
Kata dia, salah satu yang membuat warga marah karena kepala desa Utta, Hasyim Warat tidak menetap di desa. Sebelum dilantik hingga dilantik memimpin desa Utta, Hasyim lebih memilih berdomisili di desa Geser maupun di Kota Bula.
Derlauw berharap, yang bersangkutan bisa menetap di Utta agar setiap persoalan yang menyangkut pemerintahan desa atau hal-hal lain yang terjadi bisa ditangani langsung oleh kades.
“Olehnya itu diharapkan kepada Kepala Pemerintahan Negeri Utta saudara Drs.Hasyim Warat menetap di Negeri Utta,”harap dia. (RIF)