RAKYATMALUKU.FAJAR.CO.ID — Setiap perjuangan akan sampai pada titik henti; apapun bentuknya. Menang atau kalah terlihat nyata pada perjuangan realistis yang disadari. Pertandingan dalam alam maya tidak akan pernah mengantarkan pada kemenangan. Kemenangan orang yang melakukan shaum terselebrasi pada idul fitri.
Ramadhan semakin menjauh, idul fitri dirasai oleh diri yang fitri. Diri yang menjalankan shaum dengan kesadaran diri. Diri yang menghitung tiga puluh hari Ramadhan bagaikan kesempatan tiga puluh malam lailatul qadar. Setiap malam bagaikan seribu bulan. Adakah kita masuk kategori diri pemenang itu? Adakah kita termasuk orang layak merayakan selebrasi itu?
Wajah tertunduk, batin berucap, “jauh dari kategori itu, ya Allah”. Semakin jauh waktu berjalan seiring semakin berlalu Ramadhan karim, diri ini masih diri masa lalu. Diri yang terpaku pada problem yang sama, problem satu tahun lalu. Problem lima tahun lalu, problem sepuluh tahun lalu. Seolah tak tampak kewajaran berhadapan dengan idul fitri. Apa yang hendak diselebrasi?
Idul fitri tetap berlalu dalam pengalaman diri ini, tak bisa lari karena itu kenyataan diri. Namun diri bukan sang pemilik diri. Diri yang dipasung oleh ketidak berdayaan membebaskan diri untuk menjadi diri yang fitri. Diri yang masih terpasung oleh kebutuhan perut dan kebutuhan seks. Diri yang terpaku pada nikmat makan dan nikmat biologis. Diri yang berjuang untuk makan enak dan enak tidur. Diri yang hanya berkutat dengan keinginan perut yang tak pernah kenyang dan harapan aneka pujian. Bahkan mungkin diri yang merasa bahagia dalam keadaan terpasung. Merasa aman dalam ikatan duniawi seolah tak akan pernah mati. Seolah hidup seribu tahun lagi.
Idul fitri selebrasi diri yang fitri. Diri yang serasa tak pantas merayakan selebrasi ini, masih mungkin untuk menapak kesempatan enam hari pada bulan ini. Betapa kasih sayang Allah tanpa henti, tak berbatas dan tak berujung. Masih ada kesempatan untuk berbenah diri membuka pasung ikatan perut dan seks untuk menjadi manusia sejati.