Figur Tenggara Populis di Pilgub, -Lapalelo: Itu Hanya Soal Psikologi Politik

  • Bagikan

RAKYATMALUKU.COM — AMBON, — Meski tersisa kurang lebih 2 tahun, namun wacana politik jelang kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Maluku sudah mulai seksi diperbincangkan. Bahkan, sejumlah figur yang bakal bertarung dalam pesta demokrasi tingkat daerah itu telah muncul dan melakukan konsolidasi, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.

Yang menarik adalah, banyak figur yang disandingkan berpasangan itu berasal dari wilayah Maluku Tenggara Raya. Figur dari tenggara raya seolah memiliki daya tarik tersendiri.

Entah apa pertimbangannya, sehingga banyak bakal calon wakil itu didominasi oleh figur-figur dari wilayah Tenggara, Maluku. Padahal, akumulasi pemilih pada lima Kabupaten/Kota di wilayah tenggara raya hanya berkisar pada 294 ribu lebih yang memiliki hak suara.

Menanggapi hal tersebut, Edison Lapalelo sebagai konsultan politik mengatakan, kalau berbicara soal apa yang menjadi dampak atau keunggulan sehingga banyak figur dari wilayah tenggara dilirik untuk berpasangan dalam kontestasi politik, itu tidak ada yang signifikan.

Kata dia, sesungguhnya faktor utama dalam momentum itu adalah voters, karena berkaitan dengan kuantitas atau jumlah pemilih. Sehingga kalau banyak mengambil pasangan dari wilayah tenggara, jika dikaitkan dengan pendekatan voters, juga tidak menjadi indikator utama.

“Jadi ini hanya soal psikologis politik untuk ada keseimbangan wilayah saja. Itu yang menjadi faktor utama,” kata Edison kepada Rakyat Maluku, Selasa 12 April 2022.

Menurutnya, memang realitas yang terjadi sekarang dan beberapa dekade akhir-akhir ini banyak yang melirik pasangan dari wilayah tenggara. Namun itu hanya soal perimbangan saja, sehingga jika ada calon Gubernur mengambil wakil dari wilayah tenggara atau calon Gubernur dari wilayah tenggara mengambil wakil dari Maluku Tengah atau Kota Ambon, itu wajar karena faktor tersebut.

Kata dia, jika ada yang mengatakan bahwa memilih figur pasangan dari wilayah tenggara agar bisa mendapat suara terbanyak disana, itu sebenarnya hanya risen yang membantu untuk mempermudah penjelasan saja. Namun sesungguhnya tidak berpengaruh.

Sebab, jika kita membandingkan jumlah pemilih dari satu kabupaten atau kota di wilayah tenggara, baru berbanding seimbang dengan wilayah kecamatan yang ada di Jazirah Leihitu. Misalnya di Kabupaten Malteng, jumlah pemilih wilayah Jazirah Leihitu dan Kecamatan Seram Utara jika digabungkan bisa melebihi jumlah pemilih dari beberapa kabupaten dan kota di wilayah tenggara.

“Jadi, kalau menurut saya, itu sudah menjadi psikologi politik terkait dengan perimbangan untuk bagaimana membangun Maluku. Sehingga suka maupun tidak, banyak calon yang mengambil pasangan dari wilayah tenggara,” jelasnya.

Meski begitu, lanjut dia, itu tidak menjadi hal mutlak. Faktanya ada bakal calon lain yang melirik pasangan dari wilayah lain, seperti Febry Calvin Tetelepta yang saat ini dibincangkan akan berpasangan dengan Abdullah Vanath. “Nah itu juga berdampak pada bagaimana mereka mendapat dukungan,” tutur dia.

Dia menyebut, beberapa figur dari wilayah tenggara seperi Jeffry Rahawarin (JR), Herman Koedoeboen (HK) dan Barnabas Orno sama-sama memiliki voters di wilayahnya. Namun belum bisa dipastikan, siapa yang lebih dominan saat ini.

Soal basis masa, lanjut Edison, tidak bisa memakai logika andai-andai, tetapi harus mempunyai titik ukur. Misalnya, HK dalam perjalanan politiknya memberi fakta politik bahwa dirinya memiliki basis masa, meski dua kali mengalami kekalahan dalam Pilgub sebelumnya. Begitu juga dengan Barnabas Orno dan Andre Rentanubun, mereka telah memberikan fakta politik yang sama, karena pernah menjadi kepala daerah di wilayahnya masing-masing.

“Sementara untuk JR, saat ini harus memberi keyakinan yang kuat, bukan hanya untuk wilayah Maluku Tenggara, tapi seluruh Maluku bahwa meski belum maju, tapi punya segmentasi voters yang kuat, kendati belum ada fakta politiknya,” jelas Edison.

Namun, untuk memenangkan pertarungan, tergantung dari dengan siapa seorang figur itu berpasangan. Artinya, meski seorang politisi dengan elektoral yang kuat saat calon di pileg kemudian dikawinkan dengan figur calon gubernur, belum tentu juga berdampak kemenangan.

“Jadi ini soal figur, tergantung dengan siapa mereka berpasangan. Itu juga harus diperhatikan,” tandasnya. (SAH)

  • Bagikan