RAKYATMALUKU.COM — Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto mengkritik keras wacana kenaikan harga pertalite dan gas elpiji 3 kilogram. Rencana ini sebelumnya disampaikan oleh minta Menko Marvest, Luhut Binsar Panjaitan.
Mulyanto kepada wartawan di Jakarta, Senin 4 April 2022 meminta pemerintah tidak sembrono dan membuat panik masyarakat. Apalagi, sekarang ini rakyat masih kaget dengan kenaikan harga BBM jenis Pertamax dan kelangkaan solar.
Karena itu, ia menilai seharusnya pemerintah tidak berbicara mengenai rencana kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan LPG 3 kg. Hal ini dinilai bisa menambah kepanikan dan beban hidup masyarakat.
“Jangan pemerintah lebih melindungi kepentingan oligarki dan memanja mereka dengan berbagai fasilitas dan kemudahan usaha,” kritik Mulyanto.
“Sementara beban kenaikan harga barang-barang pokok ditimpakan kepada masyarakat. Ini kan tidak adil, yang kaya tambah kaya, yang miskin akan tambah miskin,” lanjutnya.
PKS mendesak pemerintah agar mengelola beban ekonomi negara dengan bijak, tanpa memberatkan kehidupan rakyat. Menurutnya, tidak adil jika seluruh tekanan ekonomi dunia langsung ditimpakan ke masyarakat.
“Kami minta Pemerintah bersikap adil dalam pengelolaan beban ekonomi di masa sulit sekarang ini. Negara harus hadir dalam mengatur beban ekonomi yang timbul akibat Perang Rusia-Ukraina,” ujar Mulyanto.
“Jangan tekanan ekonomi dunia tersebut langsung dilepas dan ditimpakan kepada masyarakat,” tegasnya.
Politisi PKS ini menyebut harusnya pemerintah melalui BUMN, termasuk dunia usaha yang pertama-tama menanggung beban tersebut. Jangan menimpakan semua kepada masyarakat yang masih belum pulih dari pandemi virus corona.
Selain itu, Mulyanto minta pemerintah transparan terkait penerimaan ekspor komoditas energi dan sumber daya mineral. Pasalnya, naiknya harga migas dunia juga diiringi dengan lonjakan harga CPO, batubara, tembaga, nikel, dan lain-lain.
“Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas energi dan sumber daya mineral menikmati durian runtuh dengan melambungnya harga-harga komoditas ini,” jelas Mulyanto.
“Di samping kita merogoh saku lebih dalam untuk membayar defisit transaksi berjalan dari impor migas, namun di sisi lain, saku kita juga bertambah gemuk dari penerimaan ekspor komoditas energi dan sumber daya mineral,” sambungnya.
Mulyanto memprediksi jika penerimaan negara lebih besar ketimbang defisit transaksi impor minya dan gas. Karena itu, keuntungan ekspor komoditas energi bisa dimanfaatkan untuk membantu menstabilkan harga dalam negeri.
“Ini kan soal ‘kantong kiri dan kantong kanan’. Hitungan kasar saya, penerimaan negara dari ekspor komoditas energi dan sumber daya mineral lebih besar ketimbang besarnya defisit transaksi impor migas,” kata Mulyanto.
“Kelebihan ini kan dapat digunakan untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga dalam negeri,” sarannya.
Mulyanto juga mendesak Pemerintah, BUMN dan dunia usaha agar sharing the pain (kesetiakawanan sosial-ekonomi). Salah satunya dengan meningkatkan pajak ekspor/royalti dari komoditas CPO, batubara, tembaga, nikel secara progresif sesuai dengan kenaikan harga dunia.
“Jangan pemerintah lebih melindungi kepentingan oligarki dan memanja mereka dengan berbagai fasilitas dan kemudahan usaha, dan tidak menarik pajak/royalti secara optimal dari mereka. Apalagi pada saat harga komoditas tersebut sedang tinggi-tingginya,” tandansya. (JPNN)